REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Datangnya Shalahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir menjadi berkah bagi kaum Muslimin. Beliau berjuang keras mengembalikan haluan akidah rakyat Mesir ke pangkuan Aswaja.
Caranya, beliau melakukan pendekatan kultural, bukan dengan pedang atau pertumpahan darah. Untuk merintis perubahan ini, beliau sisakan perayaan Maulid Nabi bagi rakyat Mesir. (Baca: Tiga Teori Asal Mula Perayaan Maulid Nabi)
Tampaknya, perayaan Maulid Nabi di Mesir mengundang ketertarikan penguasa Muslim di wilayah lain, yaitu Muzhaffar Kukabri, gubernur Irbil di Irak. Beliau ini sebenarnya adalah sejawat Sultan Shalahuddin dalam jihad melawan pasukan Salibis di Eropa. Bahkan, Sultan Shalahuddin menikahkan laki-laki dengan saudara perempuannya, Rabiah Khatun bin Ayyub.
Tidaklah aneh jika di antara keduanya terjalin hubungan saling mendukung. Dan kebutuhan peringatan Maulid Nabi ini dirasakan mendesak, ketika kaum Muslimin sedang mengalami kelemahan dan kelelahan, akibat perang terus-menerus menghadapi kaum Salibis Eropa. Saat itulah Shalahuddin memanfaatkan momen peringatan Maulid Nabi untuk mengingatkan kembali kaum Muslimin terhadap jejak-jejak sejarah Rasulullah.
Dengan demikian, kita bisa mendapatkan kesimpulan tentang asal mula peringatan Maulid nabi dalam sejarah kaum Muslimin sejak ribuan tahun lalu. Awalnya, diinisiasi oleh Dinasti Syiah Ubaidiyah lalu diadaptasi ke dalam kultur Aswaja oleh Malik Mudzaffar dan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Di Mesir, pada masa Dinasti Mamluk (abad ke-14 dan abad ke-15 M), peringatan Maulid diadakan dengan mewah dan megah. Dalam acara itu, Sultan membagikan pundi-pundi dan kue kepada para ulama.
Pada abad ke-19 M kerajaan Islam di Mesir mengadakan peringatan maulid di sebuah taman. Dalam kesempatan itu dibacakan syair berseloka yang mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad.