REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lebih dari 200 karyawan perusahaan teknologi membuat kesepakatan untuk tidak membantu pemerintah Donald Trump dalam upaya deportasi imigran, Selasa (13/12). Sejumlah karyawan berasal dari perusahaan raksasa Alphabet Inc., Twitter dan Salesforce.
Mereka menolak membantu membangun data registrasi penduduk berdasarkan agama. Para karyawan ini menandatangani surat terbuka di neveragain.tech untuk menentang ide registrasi Muslim yang dilontarkan Trump semasa kampanye.
Aksi protes ini awalnya ditandatangani oleh 60 orang. Setelah beberapa jam, jumlahnya meningkat hingga sekitar 200 orang. "Kami memilih berdiri dalam solidaritas dengan Muslim AS, imigran dan orang-orang yang terancam kebijakan ini," kata surat tersebut.
Penandatangan surat berasal dari beragam latar belakang, seperti insinyur, desainer dan eksekutif bisnis. Surat mereka menegaskan tidak akan berpartisipasi dan memfasilitasi deportasi massal yang dicanangkan pemerintah.
Mereka tidak akan membuat database berisi informasi berdasarkan ras, agama ataupun asal kenegaraan. Mereka menyebut mengumpulkan data dengan cara demikian melanggar hukum dan tidak etis. Tim transisi Trump tidak berkomentar soal surat terbuka.
Baca juga, Kisah Muslim AS Dipaksa Turun dari Pesawat Sesaat Sebelum Terbang.
Selama kampanye, Trump memang mengeluarkan ide kebijakan. Ini membawa kekhawatiran semua pihak. Namun hingga saat ini, Trump belum membahasnya lagi. Ia sudah berencana untuk menempatkan seseorang ahli untuk program pengintaian.
Ketua eksekutif Alphabet Larry Page, CEO Apple Tim Cook, Kepala operasi Facebook Sheryl Sandberg, CEO Amazon Jeff Bezos dan CEO Oracle Safra Catz termasuk dalam daftar yang akan bertemu tim transisi Trump. Namun hingga saat ini belum terlaksana.