Jumat 09 Dec 2016 08:52 WIB
Tapak-tapak Perjalanan Ulama-Patriot KH Sholeh Iskandar

Mengenang Jendral Nasution, Laskar Hizbullah, dan Kesejatian Cinta NKRI

kroja
Foto:
Ekspresi para pejuang lemerdekaan ketika melakukan hijrah di perang kemerdekaan.

Adanya statement Sholeh Iskandar mengenai DI, membawa kita kepada pertanyaan, bagaimana ulama-patriot ini memandang hubungan antara agama Islam dengan negara Republik Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, baiklah kita ikuti sikap Sholeh Iskandar menghadapi pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama yang diajukan oleh Pemerintah ke DPR pada tahun 1989.

Dengan lugas, Sholeh Iskandar menyatakan keheranannya atas pendapat yang menyebut RUU-PA bertentangan dengan Pancasila. Sholeh Iskandar juga tidak memahami pendapat yang menganggap aneh jika syariat Islam masuk ke dalam hukum nasional RI. Menurut Sholeh Iskandar, untuk mendudukkan hubungan antara agama dengan negara, cukuplah dengan memahami dan menghayati Undang-Undang Dasar 1945, sejak Pembukaan, Batang Tubuh, sampai Penjelasannya.  Semuanya, kata Sholeh Iskandar, serba membuka diri terhadap realitas yang tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik realitas yuridis, maupun realitas sosiologisnya.

Pasal 29 ayat (1) dan (2) mengandung keharusan tiap warganegara untuk beragama, walaupun keharusan ini tidak disertai sanksi. Akan tetapi, itu tidak mengurangi sifat keharusan sebagai suatu norma hukum yang harus ditaati.

Menurut Sholeh Iskandar, Indonesia negara hukum yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka seharusnya dan logis jika setiap aturan hukum bersumber dari norma agama, dan sangat logis juga jika hukum agama ditransformasikan ke dalam hukum nasional sesuai dengan keinsafan dan kebutuhan hukumnya. Tanpa agama, Pancasila akan kehilangan makna dan nilainya.

Mayor di masa itu, pangkat yang cukup tinggi, karena sampai akhir 1950-an Panglima Teritorium (sekarang Panglima Daerah Militer), bahkan Kepala Staf Angkatan Darat, paling tinggi berpangkat Kolonel. Jika Sholeh Iskandar melanjutkan karir militernya, bukan mustahil dia bisa meraih pangkat Jenderal dengan tugas kekaryaan yang menjanjikan. Perwira penghubung yang menjadi staf Mayor Sholeh Iskandar di masa perang kemerdekaan, Letnan Hasan Selamat, pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal dan sempat menjadi gubernur Maluku.

Akan tetapi, ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui pada penghujung tahun 1949, Sholeh Iskandar justru merasa tugasnya sebagai tentara telah selesai. Sholeh Iskandar tidak tergoda kepada kemewahan dunia, yang sangat mungkin dia peroleh jika melanjutkan karir militernya. Dia kembali ke dunia sipil dan melanjutkan pengabdiannya di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, dia tetap menaruh kepedulian tinggi terhadap nasib dan kesejahteraan bekas anak buahnya, sesama pejuang kemerdekaan.

Antara 1950-1960, Sholeh Iskandar mendirikan Persatuan Bekas Anggota Tentara (Perbata) dengan tujuan menghimpun tenaga bekas tentara dan laskar perjuangan ke arah tujuan pembangunan dan pembinaan negara; terpilih  menjadi Wakil Ketua Gabungan Organisasi-organisasi Perjuangan; terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Pejuang Islam Bekas Bersenjata Seluruh Indonesia; turut mendirikan dan terpilih menjadi Ketua II Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia; dan turut mendirikan Yayasan Carya Dharma yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota LVRI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement