Jumat 09 Dec 2016 03:47 WIB

Lembaga Pengelola Zakat Harus Jadi LKS Profesional

Ketua Umum Baznas Bambang Sudibyo.
Foto: Dok BMH
Ketua Umum Baznas Bambang Sudibyo.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Dengan zakat masuk dalam Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (AKSI), lembaga pengelola zakat harus bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Syariah profesional tanpa meninggalkan fitrahnya. Ketua Umum BAZNAS Bambang Soedibyo menjelaskan, selama ini lembaga pengelola zakat masih dianggap lembaga keagamaan yang mengelola uang.

Saat ini BAZNAS dan urusan zakat sudah masuk Masterplan AKSI di Bappenas, maka tanpa meninggalkan fitrah, lembaga pengelola zakat harusnya bertransformasi menjadi lembaga keuangan syariah profesional.

Konsekuensinya, semua lembaga pengelola zakat akan disupervisi OJK. Pusat Kajian Strategis BAZNAS harus memikirkan bagaimana lembaga pengelola zakat siap diawasi OJK.

Idealnya, struktur lembaga pengelola zakat dilengkapi auditor internal yang tertib, pengawasan eksternal di mana semua lembaga pengelola zakat diaudit kantor akuntan publik, dan diaudit syariah oleh Kemenag.

''Melalui Inspektorat Jenderal, Kemenag juga bisa menginvestigasi lembaga pengelola zakat yang diduga menyimpang,'' kata Bambang Sudibyo mengawali Seminar Nasional Zakat 2016 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Kamis (8/12).

Mengulas kondisi lembaga pengelola zakat saat ini, Bambang menuturkan, pengelolaan zakat di Indonesia landasannya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 sebagai pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011. Dari 34 BAZNAS provinsi, baru 28 Baznas daerah yang sudah sesuai PP 14/2014. Padahal kesesuaian unsur legal adalah bagian syariah.

Juga belum semua BAZNAS kota kabupaten bekerja sesuai rancangan kerja anggaran tahunan (RKAT). Laporan keuangan sebagian besar BAZNAS daerah dan LAZ belum diaudit kantor akuntan publik. 

Hasil audit laporan keuangan BAZNAS daerah dan LAZ pun harusnya dilaporkan ke BAZNAS. Sehingga angka zakat yang ada sekarang masih banyak yang belum diaudit. ''Mungkin sebab utamanya adalah otonomi daerah yang belum berjalan baik,'' kata Bambang.

BAZNAS bukan atasan BAZNAS provinsi dan BAZNAS provinsi bukan atasan BAZNAS kabupaten kota. Yang mengangkat BAZNAS provinsi dan kabupaten kota adalah pemda setempat. Sementara masih banyak kepala daerah yang memandang zakat bukan sebagai urusan penting.

Pelaporan LAZ dan BAZNAS daerah juga belum sepenuhnya sesuai peraturan. Sistem Manajemen Informasi BAZNAS (SIMBA) yang memfasilitasi pelaporan belum dimanfaatkan optimum sehingga BAZNAS sulit menghimpun data secara keseluruhan.

Penting pula bagi lembaga pengelola zakat memahami Inpres Nomor 3 Tahun 2014 tentang optimalisasi penghimpunan zakat agar optimalisasi zakat berjalan baik sehingga potensi zakat bisa teralisasi. ''Persoalannya, aspek hukum di masa lalu belum dikelola baik. Padahal ini penting. Tapi kesadaran pembentukan tim hukum BAZNAS pun masih baru,'' kata Bambang.

Peraturan BAZNAS tentang unit pengumpul zakat (UPZ) juga sudah terbit. Peraturan ini sudah masuk lembar dokumen negara sehingga lebih kuat. Ini akan jadi kekuatan BAZNAS untuk menghadapi LAZ ilegal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement