Kamis 08 Dec 2016 16:41 WIB

'Para Ulama Harus Mengajak Masyarakat pada Kelembutan'

Rep: Fuji E Permana/ Red: Damanhuri Zuhri
Yenny Wahid
Foto: Antara
Yenny Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan hasil survei WAHID Institute (WI), diperkirakan sekitar 7,7 persen penduduk Indonesia berpotensi melakukan tindakan radikal ke depan apabila ada kesempatan.

Kalau jumlah tersebut diproyeksikan dengan 150 juta penduduk Indonesia berusia dewasa, maka diperkirakan ada 11 juta jiwa yang berpotensi melakukan tindakan radikal.

Direktur Wahid Institute, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid) mengatakan, untuk mengantisipasi munculnya tindakan radikal, semua pihak harus menguatkan lagi semangat kebangsaan. Para ulama harus mengajak masyarakat untuk tidak mengedepankan sikap penuh kekerasan.

"Kerena faktor-faktor yang mendasari orang menjadi radikal salah satunya adalah ketika terpapar pada dakwah-dakwah yang berisi kebencian ," kata Yenny Wahid kepada Republika saat Dialog Kebangsaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (8/12).

Ia menerangkan, sebagai upaya mengantisipasi berkembangnya radikalisme, para ulama harus mengajak umatnya kepada kelembuatan. Intinya, kalau ingin meneguhkan kembali semangat kebangsaan, maka semua pihak harus memperlakukan orang lain dengan kelembutan dan penuh rasa cinta sebagai sesama warga Bangsa Indonesia.

Menurutnya, kalau melihat ada orang lain yang melenceng dan berbuat salah. Maka yang harus dilakukan adalah mengajak dan merangkul mereka. Jadi, orang salah bukan dipukul. "Kalau orang keliru jangan dihardik tapi dididik," ujarnya.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti menerangkan, persoalan ikatan dan solidaritas kebangsaan mulai menurun belakangan ini. Sehingga, patut dicermati dan dicarikan solusinya.

Menurutnya, kebangsaan tidak lagi dibarengi hubungan sinergis antara entitas (identitas) lokal dan nasional yang saling menguatkan. Di satu sisi entitas lokal menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari kekayaan bangsa. "Di sisi lain, entitas nasional seringkali menunjukkan formalitas dan tafsir atas nama negara yang cenderung meminggirkan entitas lokal,” jelasnya.

 

Menurut, Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Syamsuddin Haris, kondisi kebangsaan berpengaruh pada soliditas internal sehingga menjadi tantangan berat dalam bangunan kebangsaan Indonesia yang plural.

Pluralitas Indonesia ditandai oleh jumlah suku bangsa yang mencapai 1.300 suku bangsa dengan jumlah populasi yang sangat bervariasi. "Selain keberagaman suku bangsa, Indonesia juga diwarnai oleh beragamnya bahasa dan agama," terangnya.

Ia mengungkapkan, konflik kekerasan yang masih terjadi di Papua, konflik antar etnis berbasis SARA dan sikap diskriminatif terhadap agama dan suku tertentu tidak lepas dari kondisi pluralitas Indonesia. Hal tersebut sekaligus gambaran masih belum selesainya masalah kebangsaan Indonesia.

Persoalan kebangsaan memang telah menjadi salah satu dari sembilan agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK yang tertuang dalam Nawa Cita. Agenda ini adalah memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga adalah agenda prioritas pemerintahan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement