REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Provinsi Papua Barat masyarakat Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan sejak dulu. Namun, baru-baru ini kearifan lokal tersebut mulai terkikis seiring dengan perkembangan pembangunan dan globalisasi.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Barat Ahmad Nausrau mengatakan, kondisi masyarakat Muslim secara umum di Papua Barat baik-baik saja. Sebagai contohnya di Kabupaten Fakpak ada sebuah peribahasa, 'satu tungku tiga batu'. Artinya di dalam satu keluarga ada yang beragama Islam, Katolik dan Protestan.
"Tetapi mereka bisa hidup rukun karena memiliki latar belakang sejarah yang sama, mereka saling menghargai," kata Ahmad kepada Republika di sela-sela Rapat Kerja Nasional II MUI di Jakarta, Kamis (24/11).
Dia menerangkan, kerukunan mereka menunjukan kearifan lokal yang saling menghargai. Akan tetapi, belakangan ini nilai-nilai kearifan lokal tersebut sedikit bergeser. "Pergeseran itu dipengaruhi oleh orang-orang yang datang dengan berbagai macam kepentingan," ujarnya.
Menurutnya, ada juga yang mulai memprovokasi masyarakat lokal. Sehingga, sering terjadi benturan antar umat beragama di sana. Tapi sejauh ini benturan tersebut, dikatakan Ahmad, lebih kepada ucapan berbau SARA. Artinya tidak sampai ke kontak fisik.