REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) mengutuk aksi pembantaian dan penyiksaan pemerintah dan militer Myanmar terhadap masyarakat Muslim Rohingya di Rakhine Myanmar. Selain itu, pengurus ILUNI UI juga meminta pemerintah dan militer Myanmar segera menghentikan berbagai aksi biadab yang tidak berperikemanusiaan tersebut.
"Meski pemerintah Myanmar tidak mengakuinya, kita sudah mendapatkan informasi yang cukup jelas. Konflik berdarah kembali terjadi di Rakhine, Myanmar. Saksi dan laporan menyebut bahwa ratusan rumah masyarakat Muslim Rohingya dibakar dan dihancurkan. Ratusan nyawa masyarakat Rohingya melayang," ujar Ketua Policy Centre ILUNI UI, Berly Martawardaya, Selasa (22/11).
Dia mengatakan, penduduk Rohingya terus menghadapi kekerasan dan penindasan tanpa status warga negara walaupun sudah hidup turun temurun ratusan tahun di wilayah Rakhine. Dosen Fakultas Ekonomi UI ini menyebut, atas tindakan represi yang dilakukan terus menerus oleh militer Myanmar kepada masyarakat Rohingya di negara bagian Rakhine, Pengurus Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) mengeluarkan penyataan sikap resmi ILUNI UI.
Pernyataan sikap resmi ILUNI UI terdiri dari tujuh poin. Pertama, mengutuk keras kekerasan sistematis yang merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan yang terus berlangsung di Rakhine, Myanmar, terhadap masyarakat etnis Rohingya. Kedua, menuntut pemerintah dan militer Myanmar segera menghentikan semua bentuk kekerasan dan mengakui penduduk Rohingya sebagai warga negara yang berhak mendapat perlindungan.
"Ketiga, mendorong Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN untuk menggerakkan organisasi kawasan tersebut meyakinkan Myanmar untuk segera menghentikan kekerasan dan mencari solusi yang mendasar atas permasalahan Rohingya secara damai dan bermartabat," kata Ketua bidang Komunikasi ILUNI UI Eman Sulaeman Nasim.
Adapun poin berikutnya dalam peenyataan sikap ILUNI UI tersebut, yakni keempat, mendesak masyarakat internasional menunjukkan sikap dengan tegas untuk mengirimkan pesan kepada Pemerintah Myanmar bahwa sebagai warga dunia, Myanmar harus bertanggungjawab dengan menghormati hak asasi manusia. Salah satu tindakan yang dapat diambil adalah pencabutan Nobel Perdamaian bagi Aung San Suu Kyi.
Kelima, mendesak Pemerintah Indonesia untuk mendahulukan prinsip //responsibility to protect// yang telah di tandatangani semua anggota PBB, dan menegur Duta Besar Myanmar serta tidak ragu untuk memutuskan hubungan diplomatik bila tidak ada perubahan nyata. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Indonesia juga dapat melakukan upaya konstruktif untuk meyakinkan Pemerintah Myanmar bahwa ada solusi yang lebih baik bagi persoalan Rohingya dengan berperan sebagai mediator.
Keenam, mendorong Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat Rohingya dengan menyediakan lahan untuk tempat tinggal di Indonesia. Ketujuh, mengajak segenap elemen masyarakat Indonesia mendoakan keselamatan dan mengangkat represi ini ke kesadaran publik serta meningkatkan tekanan kepada Pemerintah dan Militer Myanmar. Sekaligus menggalakkan tindakan nyata untuk membantu saudara-saudara etnis Rohingya.