Selasa 01 Nov 2016 17:54 WIB

Agama dan Negara tak Bisa Dipisahkan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Damanhuri Zuhri
Yudi Latief
Foto: M Syakir/Republika
Yudi Latief

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama dan negara merupakan dua institusi yang bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Agama jadi topangan moral masyarakat dalam menghadapi perubahan. Hal itu mengemuka dalam diskusi Jurnal Maarif ke-25 bertema Tafsir Kontemporer: Negara Pancasila sebagai Dar al-'Ahdi wa al-Syahadah di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Senin (31/10) malam.

Pengamat sosial politik, Dr Yudi Latief, menjelaskan, doktrin pemisahan agama dengan negara sudah ditolak. ''Anggapan bahwa makin moderen negara bahwa agama akan surut, tidak bisa dibuktikan akurat,'' jelas Yudi Latief.

Maka muncul konsep twin tolerantion. Agama dan negara adalah dua institusi berbeda tapi tidak bisa dipisahkan, keduanya akan saling memengaruhi. Artinya, kata Yudi, negara tidak boleh mencampuri rumah tangga agama. Sebaliknya, agama juga tidak boleh memaksakan semua pandangannya harus diambil oleh negara.

Lalu bagaimana agama bisa memengaruhi kehidupan publik? Prinsip moralitas bisa negara ambil dari nilai agama, namun dibahasakan secara objektif dan dibahas bersama secara inklusif. Jadi dalam diskusi publik yang melibatkan berbagai agama, pembicaraannya adalah substansi inti pesan kitab suci yang itu kemudian dibahasakan lebih netral.

Kalau dibandingkan, seluruh wilayah Indonesia setara Eropa Barat (35 negara). Tapi Eropa melahirkan banyak negara danmpemekaran Eropa belum selesai. Inggris memisahkan diri dari Uni Eropa, Belgia akan menjadi dua karena tak bisa menyatukan bagian Belgia yang berbahasa Prancis dan Belanda.

''Eropa itu rentan karena tidak siap menerima perbedaan. Proyek multikulturalisme di Jerman gagal karena Jerman bahkan tidak mampu menerima pengungsi. Meski maju, Eropa tidak punya tradisi toleransi yang kuat, rapuh, dan mudah patah,'' tutur Yudi.

Eropa menendang agama dari ruang publik dan orang dicabut dari akar primordial. Saat agama tidak lagi mewarnai ruang publik, yang muncul adalah negara materialis. ''Saat ada guncangan, tidak ada topangan moral masyarakat. Maka agama juga punya peran perekat di masyarakat untuk mencapai konsensus bersama dalam publik,'' kata dia.

Agama punya nilai konstruktif sejauh dijalankan secara benar. Faktanya di Eropa, paham sekularisme itu tidak pernah merata dan tidak pernah sepenuhnya bisa memisahkan agama dari negara. Misalnya negara paling sekuler, Prancis, simbol agama tidak boleh muncul di publik. Tapi Skandinavia punya gereja negara dan Inggris punya gereja anglikan.

Di Barat agama tidak bisa ditendang dari ruang publik, apalagi dari Timur. Di Indonesia, agama merupakan penyumbang besar dalam pembentukan bangsa. Islam sebagai mayoritas sudah pasti harus ikut mewarnai kehidupan bangsa ini.

Indonesia yang luasnya setara Eropa Barat dengan keragaman luar biasa pula, dan manajemen negara yang tidak bagus-bagus amat, masih bisa bertahan dalam satu negara. Karena, Indonesia punya kesepakatan mengelola ruang publik secara damai.

Di Indonesia ketika nasionalisme pasang, agama justru jadi penggerak. Saat orang-orang tidak bisa berkumpul, lingkaran agama jadi jalan alternatif. Perlawanan terhadap Belanda pun digerakkan para ulama.

Tokoh-tokoh berpendidikan moderen seperti HOS Tjokroaminoto dan Tjipto Mangunkusumo menolak pemberian jabatan oleh Belanda. Ternyata, tokoh-tokoh perlawanan itu punya trah keagamaan.

Pancasila adalah hasil perjanjian bersama pada 1945. Pancasila sebenarnya berdiri di atas aneka perjanjian lain, lokal maupun nasional. ''Indonesia majemuk mulai dari agama, adat, arus ideologi, kelas sosial, etnis, dan lain-lain. Sudah ada perjanjian-perjanjian untuk menuju inklusi sosial.

Tugas Islam bukan untuk menyangkal kebenaran yang ada, tapi meluruskan apa tidak benar. Yudi melihat ini soal mentalitas umat. Apapun yang benar misalnya tradisi Arab yang benar, bila benar maka benar. Sekarang ini, seolah-olah apa yang tidak berasal dari Islam harus disangkal. ''Sekarang kita menolak Pancasila karena tidak bersumber ekslusif dari Alquran. Padahal Islam tidak mencari eksklusifitas,'' kata Yudi.

Islam, lanjut Yudi, ibarat gadget versi terbaru. Maka kebenaran yang sudah ada sebelumnya tetap bisa digunakan selama untuk mencapai tujuan yang benar bukan menyesatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement