Selasa 01 Nov 2016 08:48 WIB

Di Sekitar Tafsir Demo 4/11: Sakralitas Agama dan Jejak Monitor

Ribuan massa unjuk rasa terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama soal surah Al Maidah ayat 51 bergerak dari Masjid Istiqlal ke Balai Kota DKI, Jumat (14/10).
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Ribuan massa unjuk rasa terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama soal surah Al Maidah ayat 51 bergerak dari Masjid Istiqlal ke Balai Kota DKI, Jumat (14/10).

Di Sekitar Tafsir Demo 4/11: Sakralitas Agama dan Jejak Monitor

Oleh: DR Iswandi Syahputra, Pengamat Media dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

===============

Sepangamatan saya, demo umat Islam menuntut agar Ahok diproses hukum karena dinilai telah menghina Alquran sebagai kitab suci umat Islam, merupakan demo terbesar dan terluas sejak reformasi tahun 1998. Semua kota besar bahkan hingga ada kota Kabupaten melakukannya.

Puncaknya, aksi masif itu akan dilakukan 4-11-2016 mendatang. Tuntutannya tidak bergeser, cuma meminta Ahok diproses secara hukum.

Berbagai pandangan mulai bertebaran, dari yang paling lucu, tajam, hingga serius. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan berbagai konspirasi global.

Misalnya, otak atik gatuk urutan tanggal, bulan dan tahun demo dalam angka 4+11+20+16=51 identik dengan Al-Maidah ayat 51.

Contoh lain misalnya, pemihan tanggal 4 itu karena angka sial dalam keyakinan Tionghoa. Melambangkan kursi terbalik atau kegoyahan karena hanya memiliki 1 kaki. Itu sebabnya, pada beberapa gedung tidak ada lantai 4, sebagai gantinya dibuat lantai 3A dan 3B.

Tafsir lainnya, mengapa harus memilih aksi tanggal 4? Angka 4 tidak dikaitkan dengan 4 sifat Nabi, 4 sahabat terbaik Nabi (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) atau 4 kitab suci (Injil, Taurat, Zabur dan Al-Qur'an) tetapi secara dangkal dikait-kaitkan dengan simbol 4 jari yang melambangkan:

- No Arabism, yang berarti menolak campur tangan Saudi.

- No Securalism, menolak konsep sekuler

- No Nationalism, menolak kebangsaan

- No Democracy, menolak demokrasi.

Secara tendensius ini akan mengarah pada kelompok muslim yang menggunakan isu atau wacana tegaknya sistem Khilafah. Ada lagi yang lebih sadis, menggiring opini aksi tersebut sebagai bentuk nyata teror bagi kedamaian umat beragama dan ancaman bagi masa depan toleransi.

Agar arah ke sana semakin menguat, harus ada penggiringan opini yang memberi stressing bahwa demo massif ini sangat berbahaya.

Maka sejumlah jejak-jejak ingatan harus diciptakan sebagai pedoman pikiran sampai pada kesimpulan, bahwa: "Demo Massif Umat Islam Bikin Gawat Keadaan". Maka mulailah kerusakan beberapa tangkai bunga pada taman kota saat demo sebelumnya dijadikan jejak pikiran agar sampai pada kesimpulan yang diinginkan.

Jejak itu tidak boleh terputus dan harus terus menerus disambung dengan jejak lainnya yang lebih jelas dan kuat.

Terkait itu, mulailah beredar surat dari Kepolisian di sosial media tentang situasi Siaga I. Mulai dari surat tanpa stempel hingga surat yang menggunakan stempel. Tidak jelas keaslian surat tersebut, dan jika surat itu asli, saya pun tidak yakin polisi segegabah itu merilisnya ke publik.

Artinya, kalaupun surat itu asli tapi dapat beredar luas, saya akan memahami justru demo ini oleh elite keamanan hanya sebagai game (permainan) tingkat tinggi.

Tidak cukup sampai di situ, beredar pula berita tentang perintah dari pejabat kompeten untuk menembak pendemo yang anarkistis.

Belakangan, kabar tersebut diklarifikasi sebagai berita yang diplintir untuk memanaskan situasi. Walau halus, sikap antara Polri dan TNI juga terasa berbeda. Situasi yang berubah ini menunjukkan ini sebuah game.

Semua itu cuma jejak yang diproduksi untuk menambah mencekamnya situasi tanggal 4 November nanti. Untuk apa? Pada level ini memang kita dituntut sedikit berani dan kritis memberi tafsir.

Pertama, jejak-jejak yang diproduksi tersebut untuk menciptakan ketakutan sebagai ranjau psikologis. Jika benar terjadi, dia akan benar-benar meledak sebagai kerusuhan dan dengan mudah dikunci bahwa benar demo umat Islam itu anarkistis. Sedikit lagi bisa jatuh pada opini, 'Benarlah Islam itu teroris!!!' Jika jejak itu salah, kemudian berkelit ini cuma warning untuk kita bersama agar tetap waspada.

Kedua, jejak-jejak yang diproduksi tersebut sebagai alat pembuka untuk memasuki tahap tawar-menawar (bargaining).

Maka, semakin besar rasa takut, semakin mahal rasa aman. Semakin mahal rasa aman, maka semakin besar biaya yang dikeluarkan. Semakin besar biaya yang dikeluarkan, semakin bertambah pendapatan. Simpelnya, ini soal berdagang menjual rasa takut dan membeli rasa aman.

Coba perhatikan, ada berapa aset ekonomi di sepanjang rute aksi demo tersebut yang terbentang dari Masjid Istiqlal hingga Mabes Polri. Itu semua harus diamankan bukan? Apakah pengamanan itu gratis? Atau, jasa pengamanan itu dapat saja dimanfaatkan oleh oknum organ yang melakukan demonstrasi, oknum pemerintah atau jasa pengamanan swasta.

Untuk itu, berapa taksiran biaya yang dikeluarkan untuk pengaman demo bisa dihitung dari kebijakan pemerintah.

Ingat, menurut Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2015, pemberian honorarium yang dianggarkan pada SKPD DKI memiliki tugas dan fungsi pengamanan, penertiban menganggarkan Rp. 288.000 ribu/orang/hari. Jika pengamanan yang disiapkan sebesar 55 SSK (Satuan Setingkat Kompi, setara dengan 100 orang) dan pengamanan sekitar 8 hari itu artinya:

Rp.288.000x5.500 orangx8 hari=sekitar 12,672 Milyar. Itu belum termasuk transport pengerahan pasukan pengaman dari daerah asal dan pengamanan demo serentak di daerah lainnya.

Kalau tiap daerah mengeluarkan minimal 10 M, ya Tuhan... Ini bukan dana kecil bukan?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement