Jumat 28 Oct 2016 09:03 WIB

Marx, Iqbal, Superman: Ketika Goethe Diam-Diam Memplagiat Alquran

London
Foto: VOA
London

Marx, Iqbal, Nietzsche: Ketika Goethe Memplagiat Alquran

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, Ketua Umum Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI)

Ketika saya berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester Inggris, photo copy disitu mendadak macet dan tidak ada yang nampak bisa memperbaiki. Tiba-tiba seorang yang berjanggut panjang dan berpakaian salwar gamis mencoba mengotak-atik mesin itu. Saya yakin dari logat Inggrisnya dia orang Pakistan atau India. Banyak yang antri photo copy waktu itu. Semua setengah kesal dan tidak sabar. Dan akhirnya dengan mudah mesin itu berfungsi kembali.

Kisahnya sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang dikatakannya kemudian. Sambil tersenyum dia berkata: “You see! wisdom always come from the East”. Lho! apa hubungannya? Kami diam sejenak, tapi kemudian tertawa renyah. Rasanya kami sedang memperolok-olok teknologi Barat. Teknologi itu kecil! Tidak ada apa-apanya dibanding wisdom dari Timur. Tapi, itu hanya olok-olok.

Makna Timur atau “orient” dapat dipahami hanya dalam konteks Barat “occident”. Ini bukan klasifikasi geografis dan nama dua mata angin. Tidak jelas siapa yang memulai mengolok-olok “kamu orang Timur! kamu orang Barat!”. Yang pasti orientalisme mendahului occidentalisme. Kini siapa yang disebut “orang Timur” dan “orang Barat” sudah jelas. Timur, kata Edward Said, adalah masyarakat dan bahkan spirit yang menakutkan Barat. (Orientalism, hal. 1-2).

Bahasa Edward nampak agak kasar, tapi gambaran yang tepat untuk fenomena perseteruan. Timur dan Barat bahkan seperti dua kutub yang mustahil bertemu. Saya lalu teringat dengan Iqbal. Ia memberanikan diri menghubungkan kutub itu dengan pesan-pesannya. Dia sadar tidak banyak yang berani menyampaikan pesan kepada Barat. Ia menulis:

“Saya tahu di kegelapan Timur, tidak ada cahaya tangan Musa atas Firaun”.

Pesan Iqbal untuk Barat dikompilasi dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul Payam-i-mashriq (Pesan dari Timur). Pesan ini disampaikan sebagai jawaban atas ratapan Goethe seabad sebelumnya. Goethe (1749-1832) menulis buku West-Oestlicher Divan. Ia meratapi mengapa pandangan manusia Barat menjadi sangat materialistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spiritual. Iqbal menjawab, moralitas dan agama itu penting bagi peradaban bung! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas.

Ratapan Goethe dan pesan Iqbal masih tetap relevan hingga kini. Nyatanya para pendeta Kristen di Barat masih terus menyesali “spirituality has gone to the East”. Barat memang materialistis, individualistis dan mematikan rasa belas kasih dan persaudaraan antar manusia, kata Iqbal. Maka ia kemudian berpesan:

“Wahai penghuni negeri-negeri Barat, alam milik Tuhan ini bukan toko.

Yang kau anggap barang berharga akan terbukti bernilai rendah.

Peradaban anda akan bunuh diri dengan pisau anda sendiri.

Sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak bertahan lama.”

Bait terakhir itu ia ulangi lagi dalam Bang-i-Dara “Peradaban yang hanya berdasarkan kapitalisme tidak akan berumur panjang”. Pasalnya tentu, karena kekurangan asas moralnya dan lack of wisdom.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement