Ahad 16 Oct 2016 15:33 WIB
Dari Gatoloco. Aidit, Panji Kusmin, Monitor, Hingga Ahok (2)

Ki Panji Kusmin dan Sinisme Terhadap Islam di Awal Orde Baru

Islamofobia.
Foto:
Pengangkatan jenazah Ahmad Yani di Lubang Buaya pada 5 Oktober 1965.

Hebatnya, menghadapi kontroversi itu, HB Jassin yang kemudian namanya dipatenkan’ dengan sebutan  ‘Paus Sastra Indonesia’ tetap mau bersikap ksatria. Sadar telah menerbitkan cerpen itu di dalam majalah yang diasuhnya, Jassin pun bersedia menjalani proses hukum serta hadir di depan persidangan yang mengusut kasus karya Ki Panji Kusmin itu. Dia hadir di sidang sebagai saksi yang meringankan.

Pada sidang itu Jassin menyebut itu tak perlu cerita pendek (cerpen) ini dilarang karena menjadi bagian dari kebebasan berekspresi.  Sikap Jassin ini bisa dipahami karena dia tak ingin lagi mengulang tragedi  perlakuan kaum sastrawan seterunya yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Raakyat) Lekra yang kerap ‘membreidel’ karya sastra yang tak sepaham dengan ideloginya. Jassin pada awal 1960-an adalah tokoh sastrawan Manifes Kebudayaan yang menjadi ‘lawan tanding’ Lekra yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun, pengadilan kasus cerpen Ki Panji Kusmin digelar di PN Medan terus berjalan meski digelar melalu sidang in absentia karena terdakwa Ki Panji Kusmin tak dapat dihadirkan.  Dan di forum itu dia dipaksa untuk mengungkap identitas Ki Panji Kusmin. Tapi Jassin kokoh menolaknya dengan alasan menjunjung kebebasan berekpresi.

Meski begitu, di akhir persidangan putusan hakim tetap menvonis hukuman berupa berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun kepada seseorang yang menyebut dirinya dengan nama Ki Panji Kusmin tersebut.

Dan, setelah peristiwa itu berlalu, Jassin berpuluh tahun kemudian pun tetap tak mau membuka identitas Ki Panji Kusmin. Tapi diujung hayatnya ia pun luluh dan bersedia memberi tahu mengenai identitas orang itu. Salah satu pengelola Gedung PDS HB Jassin Endo Sunggono sempat memberi tahu bila orang itu memang ada.

’’Dia laki-laki. Seingat saya kalau tidak orang Jawa ya orang Sumatra. Ada kok, Pak Jassin sudah pernah menyebutkan orang itu. Saya cari dulu catatanya,’’ kata Endo.  Sayang ketika sekarang hendak menanyakan kembali soal itu ke Endo, ia masih dalam keadaan sakit.

Uniknya, seakan hendak menebus kesalahannya, HB Jassin pada pertengahan tahun 1970-an kemudian menerbitkan terjemahan 'Alquran Berwajah Puisi'. Jassin terdorong menuliskan karya ini karena merasa terjemahan Alquran versi bahasa Indonesia terlalu kaku dan tidak puitis. Padahal, kata dia, Alquran itu dalam banyak hal juga bisa disebut sebagai sebuah karya agung yang memakai diksi layaknya puisi (puitis).

Namun sebenarnya ide Jassin menulis terjemahan Alquran berwajah puisi seperti itu, bukanlah ide yang pertama kali. Sebelumnya, di akhir 1960-an, penyair dan pendiri 'Teater Muslim', Mohammad Diponegoro, telah melakukannya. Dalam berbagai perayaan hari besar Islam terjemahan ini kerap dibawakan. Bahkan, sempat pula dibacakan di siaran Radio Australia (ABC).

Teater Muslim ini pada  tahun 1960-an sangat kondang. Dia menjadi lawan dari teater rakyat yang saat itu banyak berafiliasi ke idelogi komunis dengan menggelar pentas bertema sinis atau anti Tuhan dengan menggelar lakon berjudul 'Patine Gusti Allah', 'Gusti Allah Mantu, dan tema sejenis lainnya. Sutradara film legendaris asal Cirebon Arifin C Noer adalah salah satu mantan anggotanya. Salah satu karya Arifin yang melegenda sampai sekarang adalah film tentang peristiwa 'malam tragedi' pembunuhan para jendral pada 3O September 1965: Film G30S/PKI.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement