Rabu 12 Oct 2016 17:00 WIB

Sang Penakluk dan Makna Jatuhnya Konstantinopel

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agung Sasongko
konstantinopel
Foto: gatesofiana
konstantinopel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Setelah didaulat menjadi khalifah Usmaniah pada Februari 1451, Muhammad al-Fatih telah mencanangkan sebuah misi cukup besar, yakni menaklukkan Konstantinopel, yang notabene merupakan sebuah imperium Romawi.

(Baca: Misi Penguasa Ustmaniyah dan Ketakutan Paus)

Kendati demikian, Muhammad al-Fatih memang tidak tergesa-gesa dalam meraih cita-citanya tersebut. Dalam prosesnya, ia terlebih dulu menerapkan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Hal tersebut ia lakukan dengan cara memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya.

Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Usmaniah baik secara politis maupun militer. Setelah hal-hal itu dilakukan, barulah ia siap menempuh jalur peperangan. Muhammad al-Fatih diperkirakan menyiapkan sekitar empat juta prajurit untuk merebut Konstantinopel.

Peperangan dahsyat dengan pasukan Romawi yang berlangsung sekitar 50 hari tersebut memakan korban jiwa yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Kendati demikian, Muhammad al-Fatih tak surut kegigihannya untuk merengkuh angannya, yakni menaklukkan Konstantinopel.

Akhirnya, pada Mei 1453, Sultan Muhammad al-Ghazi berhasil menyudahi perlawanan Romawi, kemudian menduduki Konstantinopel. Sekitar 265 ribu pasukannya gugur dalam pertempuran bersejarah tersebut. Pascaperistiwa tersebut, Muhammad al-Ghazi pun menyandang gelar "al-Fatih", yang berarti sang penakluk. Konstantinopel pun berubah nama menjadi Istanbul (negeri Islam).

Ada tiga hal penting yang dapat dicatat pascajatuhnya Konstantinopel ke tangan kaum Muslim. Pertama, bagi umat Islam, terpenuhinya tugas historis dalam pengembangan wilayah Islam ke Persia dan Romawi Timur. Kedua, berakhirnya abad pertengahan yang suram dan dimulainya kesadaran bangsa Barat. Mereka melepaskan diri dari kungkungan gereja yang kemudian berdampak pada majunya berbagai cabang ilmu pengetahuan di sana.

Terakhir, dengan menguasai Konstantinopel, yang sebelumnya memang telah dijadikan gerbang atau jalur perdagangan Eropa, telah bergantung sepenuhnya pada kebijakan Ottoman. Dengan kata lain adalah kebijakan kaum Muslim.

Setelah peperangan, Muhammad al-Fatih kembali ke Andrianopel dan memerintahkan agar Konstantinopel dibangun kembali karena kondisinya telah porak poranda akibat gempuran pasukannya. Meskipun Konstantinopel telah dikuasainya, Muhammad al-Fatih tetap memberikan kebebasan beragama kepada para penduduknya. Ia tak memaksa kaum Nasrani yang tinggal dan hidup di kota tersebut untuk memeluk Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement