REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika membicarakan sejarah Islam, masyarakat tentu tak asing lagi dengan sebuah kesultanan bernama Ottoman. Imperium lintas benua tersebut didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey pada 1299, adapun pusat kerajaan tersebut berada di barat laut Anatolia, Turki.
Ottoman merupakan satu di antara tiga kerajaan Islam yang cukup besar pada abad pertengahan. Dua kerajaan lainnya adalah Kerajaan Safawi di Persia (Iran) dan Kerajaan Mogul di India.
Setelah mendirikan Ottoman, Osman, sebagai sultan pertama, lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada usaha-usaha untuk memantapkan kekuasaannya serta membentengi wilayahnya dari potensi beragam serangan. Khususnya dari Bizantium, yang memang kerap mengancam untuk menyerang.
Kemudian Orkhan, putra Osman, membentuk pasukan tangguh bernama Inkisyariah (Janissary) untuk membentengi Ottoman. Pada masa Orkhan, dimulailah upaya ekspansi wilayah. Mengandalkan Janissary, Ottoman berhasil memperlebar wilayahnya setelah menaklukkan Broissa (Turki), Azmir (Asia Kecil), dan Ankara.
Eskpansi wilayah terus berlanjut pada masa Sultan Murad I. Ia berhasil menaklukkan Balkan, Andrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (Bulgaria), serta seluruh wilayah Yunani.
Sultan berikutnya, yakni Bayazid I, juga meneruskan kesuksesan ekspansi wilayah Ottoman. Ia berhasil merebut benteng Philadelphia dan Gramania atau Kirman (Iran). Dengan demikian, secara bertahap, Ottoman tumbuh menjadi sebuah kerajaan besar.
Hal tersebut tak urung menimbulkan kegelisahan dan kecemasan di daratan Eropa. Paus kala itu akhirnya menyerukan kepada umat Nasrani di Benua Biru untuk angkat senjata dan siap bertempur dengan Ottoman.
Di antara kisah-kisah penaklukan, salah satu yang paling sukses dan vital adalah ketika Ottoman berhasil merebut Konstantinopel, sebuah kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad. Peristiwa yang terjadi pada 1453 tersebut dipimpin oleh Sultan Muhammad al-Fatih. Al-Fatih merupakan sebuah gelar yang memiliki arti "sang penakluk."
Muhammad al-Fatih merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Usmaniah. Ia lahir di Erdine, Turki, pada Maret 1432. Sejak kecil, Muhammad al-Fatih memang telah ditempa oleh ayahnya, yakni Sultan Murad II, agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh.
Selain mempelajari strategi perang, Muhammad al-Fatih juga meluangkan waktunya untuk mendalami ilmu agama. Yakni, dengan menghafal Alquran, mempelajari hadis-hadis dan ilmu fikih, matematika, serta berbagai bahasa, antara lain bahasa Arab, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani.