Rabu 05 Oct 2016 08:53 WIB

Pancasila, Nasionalisme Indonesia, dan AR Baswedan yang Saya Kenal

Orang Arab di Nusantara
Foto:
Orang Arab di Nusantara.

Sejak pertengahan 1985 saya hijrah ke Jakarta, bekerja di majalah Kiblat. Komunikasi dengan Pak Bas tetap terjalin walau hanya lewat telepon. Suatu hari pada pertengahan Februari 1986, karena padatnya pekerjaan, saya minta staf untuk menahan semua telepon yang masuk untuk saya, sampai tiba-tiba staf saya masuk ke ruang kerja mengabarkan sudah beberapa kali ada telepon dari Pak AR. Baswedan. Segera saya minta staf untuk mengontak balik nomor Pak Bas. Ketika tersambung, Pak Bas memberitahu bahwa dia sedang di rumah putranya, dr. Zamhari Baswedan di Kalimalang, Jakarta Timur. Dia minta saya datang untuk menemaninya makan siang. Ketika dengan berbagai dalih, saya tidak bisa menolak permintaan tersebut, ditemani Sdr. Nashir Maqsudi, saya pun berangkat ke Kalimalang.

Sambil makan, Pak Bas bercerita, memoar yang ditulisnya sudah selesai. "Nanti saya akan beri saudara satu copy untuk saudara baca dan koreksi." Sejak di Yogya, saya memang selalu mendorong Pak Bas untuk menyelesaikan memoarnya. Pak Bas juga bercerita, menyambut muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyah di Tegal, dia sudah menyiapkan artikel yang ditulis oleh pembantunya sesuai dengan yang dia diktekan. Selesai makan, dia menyerahkan artikel berjudul: “Muhammadiyah dan Al-Irsyad: Persamaan dan Perbedaannya” tersebut untuk dimuat di majalah Kiblat.

Pada artikel itu, Pak Bas mengkritik Al-Irsyad yang masih terus mempertahankan stempel Al-Irsyad untuk berbagai aktivitas sosial yang dikelolanya, padahal organisasi “rival” Al-Irsyad yakni Al-Rabithah Al-Alawiyah telah menanggalkan stempel Al-Rabithah. Di Solo, misalnya, sekolah-sekolah Al-Rabithah sejak SD sampai SLTA telah berganti nama menjadi Diponegoro. Pak Bas berharap, pergantian nama itu menunjukkan fanatisme di kalangan ba’alwi sudah mereda.

Saya kira, itulah tulisan terakhir Pak Bas yang dimuat media massa. Beberapa hari sesudah makan siang bersama itu, saya mendengar kabar Pak Bas dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih.

Ketika saya menjenguknya, dia sedang dalam perawatan intensif di ruang ICU sehingga kami tidak bisa berkomunikasi verbal. Pada 15 Maret 1986, Pak Bas wafat. Saya bersyukur telah memenuhi permintaannya --yang rupanya menjadi permintaan terakhir untuk saya-- menemani makan siang dan memuat tulisannya di majalah Kiblat.

Saya juga bersyukur, lebih 20 tahun kemudian saya mendengar kabar dari salah seorang cucunya, Dr. Anies R. Baswedan, bahwa memoar Pak Bas sudah siap diterbitkan. Saya yakin, dari memoar Pak Bas, banyak sekali yang dapat dipetik oleh bangsa ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement