Rabu 05 Oct 2016 08:53 WIB

Pancasila, Nasionalisme Indonesia, dan AR Baswedan yang Saya Kenal

Orang Arab di Nusantara
Foto:
Sukarno dan H. Agus Salim di Brastagi.

Dalam suatu pertemuan dengan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Jenderal TNI Widodo, di Kepatihan (kantor gubernur Yogya), sikap HMI itu saya tegaskan kembali seraya kepadanya saya tunjukkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI. Jenderal Widodo pun spontan berkomentar, “Kalau seperti ini, tidak ada yang perlu dicurigai dari HMI.” Entah karena ada yang mencurigai atau tidak, di masa itu kegiatan-kegiatan HMI tidak pernah lagi mendapat izin. Malah pernah izin kepolisian yang sudah turun, dengan alasan yang tidak jelas, dicabut kembali oleh polisi persis pada saat kegiatan akan dimulai. Akibatnya, kegiatan HMI terpaksa dilaksanakan secara bergerilya.

Alhamdulillah, di masa sulit seperti itu masih ada saja hamba Allah yang bersedia memfasilitasi berbagai aktivitas perkaderan HMI. Alhamdulillah juga, di masa sulit itu, minat untuk masuk HMI justru meningkat. Padahal untuk ikut kegiatan HMI, mereka harus membayar.

Pada masa-masa sulit itu pula hampir tiap hari Pak Bas menemui saya untuk memberi semangat. Entah karena panasnya situasi atau karena sebab lain, Pak Bas berulang kali mewanti-wanti agar saya tidak mengidentikkan perjuangan dengan masuk penjara. Dalam kaitan ini, Pak Bas merujuk kepada H. Agus Salim. "Contohlah H. Agus Salim," ujar Pak Bas berulang kali. "Tidak ada yang meragukan kegigihan perjuangannya, tapi baik di zaman penjajahan Belanda maupun di masa pendudukan Jepang, H. Salim tidak pernah masuk penjara."

Pak Bas sering mengundang saya ke rumahnya untuk berbincang-bincang mengenai berbagai hal, misalnya ketidaksetujuannya memberi shaf pertama di dalam shalat jamaah kepada para pejabat tinggi. Bagi Pak Bas, itu adalah feodalisme dalam shalat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hampir setiap pertemuan selalu diakhiri dengan makan nasi kebuli yang lezat.

Sesudah tidak menjadi Ketum HMI Yogya lagi, intensitas pertemuan saya dengan Pak Bas agak menurun. Maklum, jarak antara rumah saya dengan rumah Pak Bas relatif jauh. Suatu hari ada mobil berhenti di depan rumah kos saya, sesuatu yang jarang terjadi dan karena itu saya bergegas menyongsong tamu yang datang. Ternyata sopir Pak Bas yang datang untuk menyampaikan sepucuk surat. Saya masih ingat isi surat itu sebagai berikut: "Sdr. Lukman, kalau Saudara masih mau bersilaturahim dengan saya, harap Saudara datang ke rumah sekarang. Saya siapkan mobil dan sopir untuk jemput Saudara. Ibu sudah siapkan nasi kebuli." Itulah cara Pak Bas memelihara silaturahim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement