Rabu 05 Oct 2016 08:53 WIB

Pancasila, Nasionalisme Indonesia, dan AR Baswedan yang Saya Kenal

Orang Arab di Nusantara
Foto:
Demonstrasi Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). (ilustrasi)

Suatu hari, Pak Bas menyampaikan kegundahannya karena di berbagai buku sejarah selalu ditulis Natipij (organisasi kepanduan Jong Islamieten Bond --JIB) adalah kepanjangan dari Nationale Islamietisch Padvindrej, padahal menurutnya yang benar adalah Nationale Indonesia Padvindrej, Kepanduan Nasional Indonesia, bukan Kepanduan Nasional Islam. Bagi Pak Bas, kesalahan ini bukan soal sederhana, karena di dalam kesalahan itu lagi-lagi terkandung pandangan stereotipe bahwa segala yang berbau Islam itu tidak nasionalis.

Dalam rangka ini, sangat bisa dipahami kegelisahan Pak Bas ketika pernikahan salah seorang cucunya dengan seorang Jawa disebut sebagai bagian dari pembauran. Pak Bas memang bangga dengan pernikahan itu dan menyerahkan foto pernikahan cucunya itu kepada saya untuk dimuat di media tempat saya bekerja paruh waktu, akan tetapi dia menolak jika disebut pernikahan itu sebagai bagian dari pembauran.

Menurut Baswedan, ada kekacauan pikiran pada anggapan perkawinan adalah pembauran total. Dia menolak pikiran semacam itu, sebab Baswedan menganggap Indonesia dan nasionalisme adalah pemikiran politis yang kemudian berkembang menjadi kultural. Soal-soal politis dan kultural tidak ada hubungannya dengan soal fisik seperti perkawinan.

Kedua, kesukaannya (bukan sekadar kebiasaan) bersilaturahim dengan mengunjungi siapa saja: tua, muda, Muslim, non-Muslim, jurnalis, seniman, dan lain sebagainya.

Setiap pagi, sambil jogging Pak Bas menyambangi kawan-kawannya. Hari ini menyambangi tokoh Muhammadiyah Djarnawi Hadikusumo atau Mohammad Djazman Al-Kindi di Kauman, besok mengunjungi Romo Mangun di lembah Kali Code atau Romo Dick Hartoko di Kotabaru. Begitu dilakukannya setiap hari.

Kesempatan bersilaturahim itu digunakannya untuk membincangkan masalah-masalah aktual. Menjelang muktamar Muhammadiyah, Desember 1985, Pak Bas getol mengampanyekan perempuan sebagai Ketua Umum Muhammadiyah. Dia kampanyekan gagasannya itu bukan hanya kepada kalangan Muhammadiyah dan kalangan pers, tetapi kepada siapa saja yang ditemuinya.

Di kesempatan lain, ketika kalangan aktivis HMI sedang hangat-hangatnya memperbincangkan buku Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib terbitan LP3ES Jakarta, Pak Bas datang ke kantor HMI Yogya, mengajak diskusi seraya mengenalkan seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai salah seorang guru spiritual Wahib.

Ketiga, perhatiannya yang sangat besar kepada aktivis muda. Saat saya memimpin HMI Yogya, isu asas tunggal Pancasila sedang panas-panasnya. Beberapa kali dalam wawancara dengan media massa, bahkan di hampir semua kesempatan, saya selalu menegaskan bahwa HMI tidak menolak dasar negara Pancasila. Bagaimana mungkin HMI menolak Pancasila, sedangkan di alinea terakhir Mukaddimah Anggaran Dasarnya, HMI menegaskan tekadnya untuk mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yang ditolak HMI, khususnya HMI Cabang Yogyakarta, adalah gagasan politik menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berpotensi menjadikan dasar negara itu sebagai alat pemukul penguasa kepada lawan-lawan politiknya dan menghilangkan kebhinekaan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement