REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama memastikan perubahan kalender yang dipakai Arab Saudi dari kalender hijriyah menjadi masehi tidak mengganggu ibadah di Tanah Suci dan ibadah lain yang menggunakan kalender hijriyah. Karena penggunaan kalender adalah kesepakatan. Ada baiknya kalender hijriyah juga disepakati penggunaannya oleh negara-negara mayoritas Muslim.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nur Syam, mengatakan, meski Saudi kini menggunakan kalender masehi sebagai acuan penanggalan, ini tidak memengaruhi ibadah umat Islam. Sebab, rujukan tanggal ibadah umat Islam sudah ada dan itu menggunakan kalender hijriyah.
''Ibadah umat Islam kan sudah ditentukan, puasa mulai 1 Ramadhan, kemudian penetapan 1 Dzulhijjah untuk menentukan tanggal wukuf dan Idul Adha. Meski Saudi pakai kalender masehi, ibadah umat Islam tetap mengacu pada kalender hijriyah,'' kata Nur Syam, Senin (3/10).
Penggunaan kalender, lanjut Nur Syam, adalah persoalan kesepakatan. Kalender masehi beruntung karena disepakati secara global.
Kalender hijriyah belum disepakati secara internasional. Sebab negara satu dengan yang lain masih menggunakan referensi berbeda untuk menentukan umur bulan dalam satu bulan.
Karena itu, dibutuhkan pedoman dan standar bersama yang perlu dilakukan ke depan adalah menyatukan kalender hijriyah seperti halnya kalender masehi.
Usulan ini pernah diajukan di Organisasi Koorperasi Islam (OIC) termasuk untuk negara-negara ASEAN yang populasi Muslimnya besar seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Tapi ternyata hal ini tidak mudah karena sistem dan referensi yang berbeda. Maka sebelum menyatukan kalender, harus disepakati dulu standar dan referensinya.
Mulai 1 Oktober 2016, Saudi mengganti penggunaan kalender hijriyah menjadi kalender masehi. Saudi beralasan pergantian ini untuk memangkas anggaran terutama anggaran untuk PNS. Rendahnya harga minyak memukul pendapatan negara Saudi mengingat Saudi jadi negara pengekspor minyak di pasar global.
Baca juga, Arab Saudi Ganti Kalender Hijriyah ke Masehi.