Oleh: Muhammad Arifin Ilham
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an-nahr)." (QS al-Kautsar: 2). Menurut mayoritas mufasir seperti Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, 'Atho, dan Mujahid juga yang lainnya, ayat ini ditafsirkan "Berkurbanlah pada Hari Raya Idul Adha (yaumun nahr)".
Penyembelihan hewan kurban ketika Hari Raya Idul Adha disebut dengan al-udhhiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah tersebut. Sehingga dari makna ini, ia adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, dilaksanakan pada hari an-nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat tertentu.
Dari definisi ini, maka tidak termasuk dalam al-udhhiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqarrub kepada Allah (seperti untuk dimakan, dijual, atau untuk menjamu tamu). Begitu pula yang tidak termasuk al-udhhiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyrik (10-13 Dzulhijah) walaupun dalam rangka taqarrub kepada Allah. Begitu pula yang tidak termasuk al-udhhiyyah adalah hewan untuk akikah dan al-hadyu yang disembelih di Makkah.
Kenapa harus berkurban? Pertama, sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat kehidupan yang diberikan. Kedua, menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim AS, khalilullah (kekasih Allah), yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail AS ketika hari an-nahr (Idul Adha).
Ketiga, agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma'il AS, dalam hal ketaatan dan kecintaan kepada-Nya. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan, sehingga Isma'il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah, dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah daripada hawa nafsu dan syahwatnya.
Ikhwah fillah, sejatinya kehendak ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan. Daging dan darah hewan qurban kita sama sekali tidak akan sampai kepada-Nya jika tidak disertai takwa dan ikhlas. "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS al-Hajj: 37).
Orang yang mampu berkurban tapi tidak berkurban, hukumnya makruh. "Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami." (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dari Abu Hurairah RA). Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada kurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR Muslim).
Lebih utama, satu orang berkurban satu ekor unta atau sapi. Dalam satu keluarga (rumah), bagaimanapun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. "Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih kurban." (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa'i, dan Ibnu Majah).
Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan kurban (pengulitan dan pencacahan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (al-Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati otot-ototnya, sedang berkontraksi karena stres. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedangkan hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya empuk.
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan ibadah yang mulia ini dan menerima setiap amalan saleh kita, termasuk kurban kita.