Cerita Shamsi Ali dari Pesantren Sarapan Kecap Hingga Jadi Imam New York

Sebelum habiskan dua tahun di Arab Saudi, ia ingat perjalanannya di Pakistan bertepatan dengan gejolak yang terjadi di Afganistan. Pada Desember 1996, merupakan titik awal perjalanan Shamsi Ali di Amerika Serikat, berkat ajakan dari Duta Besar Indonesia untuk Persekutuan Bangsa-Bangsa kala itu. "Saat itu Islam sudah berkembang di AS, tapi ada satu penyakit, umat Islam kalau sudah shalat dzikir merasa sudah selesai," ujar Shamsi.

Padahal, ia meyakini dakwah Islam bisa terlaksana dengan komunikasi yang kuat dan baik, bukan tertutup untuk bergaul apalagi melaksanakan ibadah tanpa menjalin hubungan dengan tetangga. Perlahan tapi pasti, Shamsi berhasil mengajak umat Islam dari berbagai latar belakang dan asal di AS, lebih terbuka tanpa harus meninggalkan aqidah.

Sampai ia didaulat menjadi Imam Besar Masjid Al Himah New York, Shamsi tidak pernah melupakan pentingnya menjalin komunikasi yang baik, termasuk ke masyarakat non-Muslim. Bahkan, Shamsi kerap diundang menghadiri dialog-dialog antar pemuka agama, lantaran kelembutan Islam yang cukup dikenal masyarakat AS.

Dari kisah perjalanan itu ia menegaskan kepada para santri, agar senantiasa berani bermimpi setinggi apapun cita-cita yang diinginkan. Shamsi menekankan, umat Islam memang wajib berusaha mewujudkan apapun yang menjadi mimpinya, karena sesuai dengan perintah Allah SWT untuk sukses dan tertuang di Alquran. "Muslim itu pemimpi, tapi mimpi Muslim itu mampu menggoncangkan dunia, sebab Muslim bermimpi tidak sambil tidur," kata Shamsi.

Ia menambahkan, Nabi Muhammad SAW sekalipun berani bermimpi kalau Islam berkembang dan akan tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan ternyata terbukti. Menurut Shamsi, semua itu semakin menunjukkan kalau Muslim memang tidak memiliki alasan untuk tidak berani bermimpi, sekaligus berusaha mewujudkan mimpi tersebut.