Sabtu 06 Aug 2016 06:17 WIB

Tentang Adzan, Lonceng Gereja, Toa Masjid, Wahabi, dan Musik Blues

Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat , Jumat (3/10). Adzan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin tersebut telah menjadi tradisi di Masjid Agung Kasepuhan (S
Foto:
Adzan

Tapi kejengkelan terhadap suara yang keluar dari masjid tentu bukan karena adzannya. Ada faktor muadzin yang fals tapi gak nyadar, ada gegara jamaah malas menyumbang sehingga masjid dan langgar sukar beli toa baru meski yang lama suaranya sudah tak keruan. Namun yang paling utama adalah banyaknya tambahan shalawat sebelum dan sesudah adzan.

Soal keberatan atas tambahan-tambahan ini yang paling terkenal dari ulama Sunni mazhab Syafi’i, Ibn Hajar Alhaithamy, pada abad ke 16. Kesimpulan dia bahwa itu barang adalah bid’ah sampai saat ini dipegang oleh kelompok-kelompok Islam yang menginginkan adzan dilantunkan secara ringkas saja.

Disini muncul ironi, karena umat Islam Nusantara adalah salah satu pengamal utama tambahan-tambahan sebelum dan sesudah adzan. Mazhab yang diacu Islam Nusantara, adalah juga Syafi’I seperti Ibn Hajar. Yang keberatan kebanyakan dari golongan Salafi atau (mohon maaf harus pakai kata ini), Wahabi.

Jadi, buat liberal yang ingin adzan yang lebih ringkas, silahkan hubungi kantor cabang Islam puritan setempat dan merancang gerakan bersama. Percayalah, kalau liberal dan puritan sudah bersatu, tak mungkin dikalahkan. Tengok saja koalisi AS-Arab Saudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement