Sabtu 06 Aug 2016 06:17 WIB

Tentang Adzan, Lonceng Gereja, Toa Masjid, Wahabi, dan Musik Blues

Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat , Jumat (3/10). Adzan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin tersebut telah menjadi tradisi di Masjid Agung Kasepuhan (S
Foto:
Suara adzan kembali berkumandang pada Jumat (1/7) kemarin dari dalam bangunan Hagia Sophia untuk pertama kalinya sejak 85 tahun.

Tak lama, sorang sahabat lain bernama Abdullah Ibn Zaid mendapatkan mimpi tentang seseorang yang mengajarkannya panggilan shalat. Mimpi itu ia sampaikan ke Rasulullah, dan jadilah lirik adzan yang samapi saat ini tak berubah meski belakangan tak jarang dibenci orang-orang.

Nah, pada masa Khalifatul Khalifatul Khalifatul Rasulullah (artinya dia perwakilan ketiga selepas Nabi meninggal) Utsman Ibn Affan, umat Islam tambah banyak. Madinah yang jadi markasnya Muslim juga tambah ramai. Perekonomian semarak dan orang-orang rajin belanja. Sebab itu, Utsman menilai adzan sekali di masjid tak cukup. Ia kemudian mengutus satu muadzin tambahan di pasar untuk beradzan, dan kemudian nantinya disusul adzan sesungguhnya di masjid. Jauh sebelum speaker, ini cara pertama adzan dikeraskan. Di sinilah saya bayangkan emak-emak saat itu pada jengkel...?

Dan seiring masa, umat Islam menemukan banyak jalan lain mengeraskan adzan. Mulai dari membangun menara di samping masjid, hingga menciptakan arsitektur rumit yang bisa memantulkan suara dan membutnya terdengar lebih keras. Kemudian datanglah teknologi pengeras suara (akrab disebut ‘To’a, di Jawa disebut ‘Corong’,red) pada awal abad ke-20. Tanpa ragu malu, orang Islam menggunakan itu teknologi guna mengeraskan suara adzan dan pada akhirnya membuat jengkel orang-orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement