REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdirinya Pesantren Daarul Rahman ini berawal dari seorang penduduk Kampung Senayan bernama H Abdurrahman Naidi, yang kebetulan senang terhadap para habib, kiai, dan ulama. Karena itu, di kampung tersebut H Abdurrahman sering mengadakan acara Maulid Nabi maupun peringatan hari besar umat Islam lainnya, termasuk juga mengadakan pengajian-pengajian.
Abdurrahman mempunyai seorang anak bernama Abdul Kadir Rahman, yang dipondokkan ke Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. "Saat mondok di sana, beliau (Abdul Kadir—Red) bertemu dengan Kiai Syukron Ma'mun yang dahulu juga menjadi gurunya di Gontor," kata dia.
Setelah belajar sembilan tahun di Pondok Pesantren Gontor, kemudian Kiai Syukron mengikuti mantan ketua PBNU Dr KH Idham Chalid di daerah Cipete. Ketika Kiai Idham Chalid berhalangan untuk mengisi sebuah pengajian, maka Kiai Syukronlah yang disuruh menggantikannya, sehingga Kiai Syukron mendapatkan banyak pengalaman. "Di sini dulunya ada madrasah, namanya Ar-Rahman. Di situlah Kiai Syukron juga sering mengisi pengajian di Kampung Senayan ini," jelas dia.
Sejak itu, kata Qosim, H Abdurrahman Naidi akhirnya menaruh kepercayaan kepada Kiai Syukron Ma'mun dengan memberikan sebidang tanahnya yang luasnya 3.500 meter persegi untuk didirikan sebuah pesantren. "Mulai dari situlah Kiai Syukron mendirikan pesantren ini beserta kawan-kawan beliau yang juga tamatan dari Gontor," ucap dia.
Di antaranya kawan-kawan Kiai Syukron yang turut mendirikan pesantren ini juga ada gurunya saat belajar di Gontor, yaitu KH Antung Ghozali BA, KH Masyhuri Baidlowi MA, Ustaz Nurhazim BA, KH Abdul Kadir Rahman, H Muhammad Noor Mughi, dan pemilik lahan wakaf H Abdurrahman Naidi sendiri. "Itulah cikal bakal dari Madrasah Ar-Rahman tadi, yang berkembang menjadi Pondok Pesantren Daarul Rahman yang akhirnya resmi berdiri tahun 1975," kata Qosim.
Menurut Qosim, Kiai Syukron selalu bercita-cita untuk mengembangkan ajaran Islam dengan mendidik santri-santirnya sehingga dapat memahami syariat Islam dan mendidik generasi bangsa ini untuk hidup secara Islami dan dapat menyebarkan ajaran Islam ke seluruh negeri. "Tujuan utamanya adalah agar mereka tafakkur fiddin, untuk menjadi orang-orang alim dalam ajaran Islam dan mau menyebarkannya ke semua umat," ucap dia.
Sejak tahun 1975 sampai saat ini, Ponpes Daarul Rahman sudah meluluskan ribuan santri yang berasal dari penjuru negeri. Di antara mereka ada yang terjun di dunia politik, bisnis, pegawai negeri. Bahkan, menurut Qosim, tidak sedikit juga alumni Daarul Rahman yang menjadi kiai dan mendirikan pesantren juga. "Alumni yang mendirikan pesantren kurang lebih ada 50-an pesantren," kata dia.
Sementara, jumlah santri yang belajar agama di Ponpes Daarul Rahman saat ini telah mencapai 800 santri, baik santri putra dan santri putri. Mereka telah banyak meraih prestasi, seperti juara lomba pidato bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris tingkat DKI, dan pernah menjuarai lomba kitab kuning tingkat nasional yang dilaksanakan di Jambi.
Menurut Qosim, pada awal 1975 sampai 1990 para santri masih dapat belajar dengan nyaman sebagaimana santri pada umumnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Namun, kata dia, saat media elektronik mengalami kemajuan yang pesat, karakter dan kepribadian santri akhirnya juga ikut terpengaruh.
"Setelah banyak berdiri gedung-gedung, banyak santri yang juga terganggu. Yang jelas konsentrasi mereka terganggu, karena di sekelilingnya banyak gedung-gedung pencakar langit ini," ucap dia.
Di tengah-tengah ibu kota yang ramai dan penuh hiruk pikuk manusia, ternyata masih ada pesantren yang santri-santrinya masih tekun belajar mengaji untuk mendalami ilmu agama. Karena itu, alumni dan masyarakat sempat menjuluki pesantren ini sebagai "oase spiritual di jantung Jakarta".
Namun, pada tahun ajaran baru dalam waktu dekat ini, Ponpes Daarul Rahman tidak akan ada lagi di jantung kota karena akan pindah ke daerah Jagakarsa, tepatnya di Jalan Muhammad Kahfi II Kavling DKI. Alasan utama kepindahan pesantren ini karena dinilainya sudah tidak kondusif lagi dengan melihat kondisi di sekelilingnya.
"Kanan kiri ada apartemen, terus ada yang baru bangun hotel atau apa itu, sehingga tidak kondusif untuk dunia pendidikan. Di samping juga tanahnya yang terlalu sempit untuk mengelola pondok dengan santri sejumlah ini," jelas Qosim.
Bahkan, kata dia, pada Ahad (20/3) ini pesantren akan mengadakan acara maulid nabi untuk terakhir kalinya di Jakarta. Dalam acara yang akan digelar dari pagi sampai siang tersebut para alumni akan datang untuk saling bertemu sekaligus reuni. Acara ini juga akan diikuti oleh masyakarat sekitar.
Lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan di pondok ini, yaitu MTs dan MA juga akan turut dipindahkan ke daerah Jagakarsa. "Semuanya akan boyong. Santri, kiai, guru, semua akan boyong. Bangunan di sini akan dihancurkan dan tidak tahu jadi apa," ucap dia.
Terkait tanah wakaf terebut, pihak pesantren telah melakukan tukar guling dengan salah satu pengembang. Jadi, kata dia, pengembang tersebut menyiapkan bahan dan bangunan di Jagakarsa. Setelah bangunan di sana selesai, lanjut dia, baru akan pindah. "Suasana di sana tenang dan kita harapkan bisa lebih bagus dan lebih baik dari sini," ujar dia.