REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan memakai seragam batik bercorak biru dan berkopiah hitam para santri tampak sedang mengikuti kegiatan belajar-mengajar di gedung berlantai tiga Pondok Pesantren (Ponpes) Darrul Rahman, Jakarta, Rabu (16/3). Lantai satu dan dua gedung tersebut menjadi tempat santri untuk belajar, sedangkan lantai tiga menjadi tempat tidur mereka.
Gedung tersebut menjadi sekolah santri putra dan santri putri, tapi mereka ditempatkan di sisi berlawanan. Khusus gedung yang dihuni santri putri sengaja ditutup dengan jilbab atau penghalang berwarna biru, sehingga para santri putra tidak dapat mengintip aktivitas mereka.
Ponpes Daarul Rahman terletak di tengah gedung-gedung pencakar langit yang berada di Jalan Senopati Dalam II No 35A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pesantren ini berdempetan langsung dengan rumah penduduk Kampung Senayan, yang menjadi awal cerita berdirinya pondok pesantren yang diasuh oleh KH Syukron Ma'mun.
Republika kemudian menemui salah satu pengurus pesantren Daarul Rahman, Ahmad Qosim Susilo. Di kantornya, ia mulai menceritakan tentang seluk-beluk pesantren yang berada di jantung Kota Jakarta tersebut. Sementara, saat itu Kiai Syukron masih berada di Pondok Pesantren Daarul Rahman lainnya, yang berada di Parung, Kota Bogor.
"Pak Kiai masih berada di Parung, tidak tahu kapan pulang ke sini lagi," kata Qosim, yang juga diamanahi sebagai Kepala Madrasah Aliyah (MA) Daarul Rahman.
Qosim mengatakan, Kiai Syukron mendirikan pesantren ini dengan mengombinasikan antara sistem pendidikan salaf dan modern. Hal ini, kata dia, tak lepas dari latar belakang Kiai Syukron yang pernah menjadi santri selama 11 tahun di Pondok Pesantren Sidogiri, Jawa Timur, dan Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. "Sistem pendidikan di sini itu kombinasi, yaitu sistem Pondok Modern Gontor dengan pondok pesantren salaf," ucap dia.
Menurut dia, semua kurikulum Pondok Pesantren Gontor diterapkan di pesantren ini, serta ditambah dengan diadakannya pengajian dan pembelajaran kitab-kitab kuning yang identik dengan pesantren salaf Sidogiri.
"Santri-santri setiap hari menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris seperti Gontor dan membaca kitab seperti pondok salaf yang diadakan di waktu sore, malam, dan pagi ," jelas dia.