Kamis 04 Aug 2016 16:22 WIB

Kapan Kita Bayarkan Zakat Profesi?

Petugas Amil Zakat saat melayani warga yang membayar zakat fitrah, Masjid Istiqlal, Jumat (1/7). (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Petugas Amil Zakat saat melayani warga yang membayar zakat fitrah, Masjid Istiqlal, Jumat (1/7). (Republika/Tahta Aidilla)

Oleh: DR ONI SAHRONI MA, Dewan Pengawas Syariah Laznas IZI dan Anggota DSN-MUI

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zakat profesi memiliki ketentuan terkait nisab, kadar zakat, dan waktu mengeluarkannya. Beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa nisab dan waktu mengeluarkan zakat profesi diqiyaskan dengan zakat pertanian, yaitu dikeluarkan setiap bulan senilai 653 kg beras sedangkan kadar zakat dianalogikan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5 persen.

Dengan analogi yang unik tersebut, nisab zakat profesi adalah senilai 653 kg beras dan dikeluarkan setiap bulan (saat mendapatkan penghasilan) sebesar 2,5 persen. Pendapat inilah yang menjadi pilihan banyak lembaga zakat di Tanah Air.

Dari aspek nisab, diqiyaskan dengan zakat pertanian karena ada kemiripan (syabah) antara zakat profesi dan zakat pertanian, yaitu baik petani maupun tenaga profesional, mengeluarkan zakatnya setiap kali panen/mendapatkan upah.

(Baca: Memahami Zakat Profesi)

Sebaliknya, jika dianalogikan dengan emas, kurang berpihak kepada mustahik karena tingginya nisab akan semakin mengurangi jumlah hartawan wajib zakat. Pada saat yang sama, membuka kesempatan kepada hartawan untuk membiasakan diri berzakat, membersihkan harta, dan diri mereka.

Dari aspek kadar zakat, diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5 persen, karena jenis dan sifat yang dizakatkan lebih mirip dengan emas dan perak yang keduanya termasuk harta (karena penghasilan keduanya berupa uang). Dan, jika dianalogikan dengan zakat pertanian, itu akan memberatkan muzaki karena tarifnya adalah lima persen.

Sedangkan, dari aspek waktu mengeluarkan zakat profesi, dikeluarkan setiap mendapatkan penghasilan karena empat hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ali RA, Ibnu Umar RA, Anas RA, dan Aisyah RA yang menegaskan kewajiban haul untuk seluruh harta wajib zakat. Namun, menurut ulama hadis, keempat hadis tersebut dhaif dan tidak bisa menjadi sandaran hukum. Begitu pula beberapa hadis yang menegaskan kewajiban haul dalam mal mustafad (zakat profesi) dhaif.

Oleh karena itu, para shahabat, tabi'in, dan ulama Hanafiah, Malikiah, Syafi'iyah, dan Hanabilah berbeda pendapat tentang syarat haul dalam zakat profesi, sebagian mensyaratkan haul dan sebagian yang lain tidak mensyaratkan haul.

Pendapat yang kuat (rajih) adalah zakat profesi wajib ditunaikan setiap kali mendapatkan gaji/upah (tanpa menunggu haul) karena tidak ada nash yang sahih atau hasan dan tidak ada ijma' ulama yang mewajibkan haul dalam mal mustafad  maka kembali kepada nash-nash yang umum.

Pendapat yang tidak mewajibkan haul lebih dekat dengan maqashid syariah, yaitu semangat berbagi dan nilai sosial (muwasah) dan lebih bermanfaat bagi fakir miskin dan mudah ditunaikan. Dan, sebaliknya, mensyaratkan haul akan membiarkan para hartawan tenaga profesional tanpa kewajiban zakat kepada dhuafa. Juga pendapat ini lebih adil karena petani dengan penghasilan tertentu (nisab) diwajibkan zakat maka seorang tenaga profesional dengan penghasilan jauh lebih besar dari petani itu seharusnya lebih diwajibkan.

Oleh sebab itu, pendapat ini adalah pendapat pertengahan yang memerhatikan maslahat muzaki dan mustahik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement