Rabu 20 Jul 2016 05:17 WIB

Menutup Luka Rusuh Ambon: Damai Morella Mamala...!

Rep: selamat ginting/ Red: Muhammad Subarkah
Pesta budaya atraksi pukul sapu lidi Negeri Hausihu Morella, Maluku.
Foto: dok. Kodam XVI/Pattimura
Pesta budaya atraksi pukul sapu lidi Negeri Hausihu Morella, Maluku.

Tentu sebuah pengalaman unik dan tidak biasa. Apalagi bagi warga keturunan dari kedua negeri tersebut.  Hal seperti ini juga diceritakan Fuad Mahfud Azuz, seorang guru mengaji dalam tulisannya berjudul: Kawal Damai Mamala Morela, pada April 2016 lalu. 

“Beta pu tete Morela, nene orang Mamala. Jadi beta anak dua negeri ini.” (Saya punya kakek orang Morela, nenek saya orang Mamala. Jadi saya anak dua desa ini).

Fuad mengakui, terkadang dirinya seperti ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ingin mengisi telinga dan dada anak kedua negeri yang juga adalah saudaranya. 

“Hooiiii, kenapa dendam lebih mendominasi dada kalian? Hooiii, kenapa saudara saya dari Morela tidak boleh melewati jalan ini? Hooiiii, kenapa cengkeh dan pala harus dibiarkan berguguran di hutan, padahal anak dan cucu kalian butuh uang untuk sekolah.”

“Kenapa kebencian begitu kuat mengisi pikiran kalian? Bukankah kita sama bersalawat – Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad - pada nabi yang sama?  Bukankah ketika azan berkumandang, di Masjid Al-Muhibbin (Mamala) diteriakkan ‘Allahu Akbar’, dan di Masjid Al-Muttaqin (Morela) juga ‘Allahu Akbar’. Bukankah ikatan terkuat kita adalah iman yang sama?”

Ia kecewa, teriakannya seperti tidak terdengar. Bahkan kembali mengisi rongga dadanya. Dan sering dirinya sesak karena teriakan sendiri. Teriakan itu hanya dalam rasa, dalam angan. Terpendam.

“Saya terpaksa harus memahami. Mereka, anak kedua negeri ini yang terluka. Walau dalam diri saya mengalir darah dari dua negeri ini, tapi saya tidak terluka secara fisik apalagi batin. Saya tidak mengalami langsung ketegangan yang demikian dahsyat menekan seluruh raga, pikiran dan rasa.”  Ia menyadari posisinya sebagaimana  ‘orang luar’ memandang kerusuhan Ambon belasan tahun lalu, tepatnya pada 1999.

Ya, kami pun menyadari bahwa ada luka batin yang sulit disembuhkan di dua negeri bersaudara itu. Sorenya, kami pun menceritakan pengalaman unik itu kepada Panglima Kodam XVI/Pattimura, Mayor Jenderal Doni Monardo.

“Sengaja saya tidak memberitahukan masalah Mamala Morela secara detail, supaya wartawan dari Jakarta bisa merasakan betapa masalah sosial ini, jika salah penanganannya, bisa menjadi konflik sosial yang hebat,” kata Mayjen Doni Monardo yang didampingi Kepala Penerangan Kodam, Kolonel (Arhanud) M Hasyim Lalhakim dan Asisten Intelijen, Kolonel (Infanteri) Asep Abdurrachman.   

Doni kemudian membuka sejumlah rahasia yang akan dikembangkan dalam sebuah ‘operasi’ perdamaian. Ia mengawali pada pertengahan Agustus 2015. Sejak hari pertama menjabat Pangdam XVI/Pattimura, Doni berkesempatan melakukan kunjungan kerja ke berbagai kesatuan dan daerah.

Dalam sejumlah pertemuan dengan masyarakat ini, timbul sejumlah permintaan kepada Pangdam untuk bisa menjadi mediator dan fasilitator dalam rangka mempertemukan pihak-pihak yang selama beberapa tahun terakhir terlibat konflik yang berkepanjangan.

Yang pertama dilakukan adalah proses pelatihan budidaya perikanan laut dan perkebunan di Batalyon Infanteri 733 Para Raider.  Dalam program ini, sejumlah perwakilan dari desa-desa yang terlibat konflik dilibatkan. Strateginya, perwakilan dari desa-desa ini bisa tidur berdampingan. Bahkan ember dan gayung disiapkan hanya satu. Hasilnya, satu sama lain bisa saling berkomunikasi.

Itulah titik awal dari proses komunikasi yang terjadi. Mulai dari budi daya perikanan dan pembibitan pohon sampai memberangkatkan perwakilan dari Mamala dan Morela, terutama ibu-ibu yang suaminya menjadi korban kekerasan untuk ibadah umroh bersama ke Tanah Suci, Makkah.

Untuk mendengar aspirasi warga dari dekat, Pangdam juga mengirim utusan dari rumah ke rumah untuk menanyakan apa yang mereka inginkan. Hampir semua warga di dua negeri ternyata menginginkan perdamaian dan segera mengakhiri permusuhan yang terjadi berlarut-larut.

Di tengah kelimpahan hasil laut dan alam, lanjut  Doni, semestinya kerukunan lebih terjamin dan lahir generasi muda yang berkualitas. Mantan Komandan Jenderal Kopassus ini mengharapkan proses perdamaian yang berjalan secara alamiah, supaya kerukunan tetap terjaga.

“Jangan sampai ada gesekan-gesekan yang mungkin terjadi dengan tidak sengaja. Kita harapkan masyarakat memiliki ketahanan yang kuat yang lahir dari sanubari. Semoga kita semua bisa menjaga kerukunan ini dengan segenap daya dan upaya,” ujar Doni pada kesempatan berbeda, menceritakan proses perdamaian yang dicetuskan pada Sabtu (23/4/ 2016) lalu.

Damai, lanjut Doni, hanya akan langgeng apabila kedua belah pihak punya tekad untuk mengawalnya.  Sebab tidak mungkin aparat TNI dan Polri berada di sana selamanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement