Kamis 02 Jun 2016 04:53 WIB

Pancasila, Sukarno, Piagam Jakarta, dan Debat Dasar Negara

SIdang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Foto:
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Bila membaca kembali risalah sidang BPUPKI memang terasa ada tarik-menarik antara keinginan mendirikan negara berdasarkan Pancasila dan negara berasaskan agama Islam. Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi terus berkeras atas pendapat mendirikan negara berasaskan ajaran Islam. Sikap anggota BPUPKI yang berasa dari golongan Islam pun bersikap senada. Situasi ini terlihat jelas dalam risalah sidang BPUPKI.

Namun, bila risalah itu lebih dicermati lagi, maka sikap ngotot Ki Bagus dan Kiai Sanusi bukan tanpa kompromi. Ini dibuktikan pada sikap keduanya pada rapat lanjutan BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945. Pada saat itu Ki Bagus dan Kiai Sanusi yang pada awalnya menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara, namun karena menyadari risiko terpecahnya negara bangsa jika usul itu dilaksanakan, maka keduanya pun mencabut kembali usulannya. Perubahan sikap ini terjadi karena tidak jelasnya arti anak kalimat yang kemudian tercantum dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 tanggal 22 Juni 1945, yaitu: "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Menyadari ketidakjelasan arti itu, maka Ki Bagus dan Kiai Sanusi kemudian dengan gigih menuntut agar anak kalimat tersebut dicoret saja. Mereka berpendirian bahwa jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama (agama Islam--Red), maka negara bersikap netral saja terhadap masalah agama ini.

Namun kemudian, menurut  Saafroeddin dan Nannie Hudawatie, sungguh menjadi mengherankan bila usul Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu justru ditolak dengan keras oleh Ketua BPUPKI DR Radjiman Wedyodingrat dan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Ir Sukarno.

"Keterangan yang kami peroleh dalam membaca risalah ini hanyalah bahwa sikap Radjiman dan Sukarno tersebut didasarkan pada argumen yang amat formal dan legalistik. Kedua, beliau ini berpendapat bahwa rumusan tersebut merupakan kompromi yang dicapai dengan susah payah antara apa yang dinamakan 'golongan Islam' dan 'golongan kebangsaan'. Pencoretan tujuh kata tersebut dikhawatirkan akan mementahkan kembali masalah yang sudah diselesaikan," tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawatie.

Bila dilihat dari kacamata yang lain, misalnya dari sisi kepentingan politik praktis kekuasaan, Radjiman dan Sukarno sadar sepenuhnya bila keinginan kekuatan golongan Islam tidak diakomodasi, maka kekuatan negara akan melemah. Umat Islam menjadi tidak punya rasa memiliki atas bangsa yang hendak berdiri merdeka itu. Para ulama dan kaum Muslim jadi punya argumen bahwa mencintai Tanah Air adalah bukan menjadi kewajibannya karena negara Indonesia tidak mau mengakomodasi kepentingan mereka.

Pilihan sikap itu pada kemudian hari tepat adanya. Menjelang peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945 keluarlah Fatwa (Resolusi) Jihad dari KH Hasyim Asy’ari bahwa mencintai Tanah Air (Indonesia) adalah bagian dari iman mereka yang berperang dan kemudian mati dalam pertempuran adalah mati syahid.

Terkait dengan soal debat dasar negara, Staf Pribadi M Natsir yang menulis Buku Muhammadiyah untuk Indonesia mengatakan, Ki Bagus Hadikusumo dan para tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPKI memang berkeras agar Islam dijadikan dasar negara. Sikap ini terus terjadi dalam rapat-rapat BPUPKI hingga menjelang disepakatinya kesepakatan 22 Juni 1945, atau terbentuknya Piagam Jakarta.

''Bahkan, sebelum ada tim kecil yang jumlahnya 9 orang, sebetulnya telah dulu ada tim 8 yang tugasnya merangkum pemikiran apa saja yang berkembang dalam soal pembahsan dasar negara. Di situ sudah mulai ada kesepakatan awal bahwa Ketuhanan merupakan sila pertama. Tapi ini berbeda dengan rumusan sila Sukarno yang menyatakan Ketuhanan yang berkebudayaan,'' kata Lukman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement