Kamis 02 Jun 2016 04:53 WIB

Pancasila, Sukarno, Piagam Jakarta, dan Debat Dasar Negara

SIdang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Foto: wikipedia
SIdang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia merayakan Hari Lahir Pancasila. Pertanyaannya: benarkah rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang sama dengan rumusan Pancasila seperti yang ada dalam Piagam Jakarta.

Rumusan Pancasila 1 Juni 1945 terdapat dalam apa yang disebut Piagam Jakarta. Pada 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi 17 Agustus, Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 45 dan rumusan Pancasila berubah, yaitu sila pertama. Dalam Piagam Jakarta sila pertama dari dasar negara berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Namun, pada rumusan 18 Agustus 1945 berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Piagam Jakarta adalah nama yang diberikan Mr Muhammad Yamin atas sebuah kesepakatan yang berisi tentang teks tertulis yang isinya memuat rumusan dari hukum dasar negara Republik Indonesia. Piagam ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan (Panitia Kecil BPUPKI) pada tanggal 22 Juni 1945 di rumah Bung Karno (rumah itu telah dibongkar dan dijadikan kompleks Monumen Proklamasi yang berada di Jl Pegangsaan Timur Jakarta).

Piagam ini dibuat setelah melalui rapat maraton yang berlangsung selama sepekan, mulai 10-16 Juli 1945. Untuk mencapai kesepakatan sidang berlangsung alot dan penuh adu argumen yang melibatkan dua kelompok kebangsaan yang saat itu sangat berpengaruh, yakni kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Dalam piagam ini tertuang arah dan tujuan bernegera serta memuat pula lima rumusan dasar negara (Pancasila).

Sedangkan, BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 sebagai pelaksanaan janji pemerintah pendudukan Jepang untuk memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dan ketika ingin membahas dasar negara secara lebih serius, maka kemudian BPUPKI membentuk tim kecil yang berisi sembilan tokoh yang dianggap mewakili dua kelompok penting tersebut, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agama.

Mereka adalah Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin. Salah satu hasilnya adalah berhasil membuat naskah pembukaan undang-undang dasar dan rumusan dasar negara meski ada sedikit perbedaan, misalnya dengan apa yang dipidatokan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945.

Dalam Piagam Jakarta itu terdapat rumusan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesepakatan ini terjadi setelah adanya lobi dari Bung Hatta kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang "mengancam" akan memisahkah diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Pada lobi yang berlangsung di sore hari pada 17 Agustus 1945 sempat terjadi kekhawatiran bila usaha itu akan mengalami kegagalan. Semua tahu akan sikap keras Ki Bagus Hadikusumo yang menganggap rumusan di Piagam Jakarta sudah final dan merupakan jalan kompromi terbaik. Namun, Hatta tak putus asa. Dia kemudian memilih Kasman Singodimedjo untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo. Penunjukan kepada Kasman dianggap paing tepat karena dia juga merupakan teman dekat dari Ki Bagus Hadikusumo.

Memang pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo menolak, bahkan dia merasa dikhianati. Namun, dia kemudian berhasil dibujuk dengan mengingatkan adanya ancaman pemisahan diri dari beberapa tokoh wilayah Indonesia timur tersebut. Akhirnya, dengan nada yang berat, kemudian Ki Bagus bisa menerimanya dengan memberikan syarat dialah yang menentukan rumusan sila pertama Pancasila setelah tujuh kalimat itu dihapus.

Ki Bagus tidak memilih kata "ketuhanan" saja, tetapi menambahkannya dengan "Yang Maha Esa" atau menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pada kemudian hari, yakni 70 tahun kemudian, setelah melalui perjuangan yang alot dan berliku, pada 10 November 2015 kelapangan hati Ki Bagus Hadikusumo tersebut baru mendapat pengakuan yang setimpal dari negara dengan pemberian gelar sebagai pahlawan nasional kepadanya.

Terkait mengenai perubahan rumusan sila pertama itu, Guru Besar Kajian Islam Universitas Paramadina Prof DR Abdul Hadi WM mengatakan, sarjana Belanda terkemuka yang pakar tentang Indonesia, Nijwenhuijze, pernah mengatakan bahwa rumusan sila pertama Pancasila itu berasal dari golongan nasionalis Islam. Pendapat yang sama juga dikatakan pakar hukum tata negara, almarhum Dr Hazairin. Dia berpendapat bahwa rumusan sila itu memang merupakan bukti kelapangan dada tokoh-tokoh Islam seperi tertuang dalam bukunya, Demokrasi Pancasila (Jakarta 1970:58).

Menurut Hazairin, istilah tersebut hanya mungkin berasal dari kebijaksanaan dan iman orang Indonesia yang beragama Islam. Ini dapat dikaitkan dengan pidato Mr Soepomo dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Soepomo mengatakan bahwa "Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi cukup menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.

Dengan demikian menurut Sopeomo dan juga Mohammad Hatta, Pancasila tidak bertentangan ajaran Islam, khususnya berkenaan dengan way of life (pandangan hidup) dan nilai-nilai. Tokoh nasionalis Islam sendiri yang menandatangani Piagam Jakarta--yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, dan Wahid Hasyim tidak pernah memprotes perubahan tersebut.

"Terkait soal rumusan sila pertama Pancasila itu, saya sempat bertemu Pak Abdul Kahar Muzakir (anggota BPUPKI) pada bulan September 1965. Dalam kesempatan itu saya tanyakan kepada beliau tentang hal tersebut. Menurut beliau, justru yang mengusulkan penambahan kata 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya' bukan anggota dari kelompok nasionalis Islam," kata Abdul Hadi WM seraya menyatakan hal-hal atau jasa seperti inilah yang kadang dilupaan publik—termasuk petinggi negara—yang sekarang menggenggam kekuasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement