REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, banyaknya kekerasan di tengah masyarakat Indonesia seperti adanya mutilasi perempuan hamil dan pembunuhan menandakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini tengah mengalami gegar kemanusiaan dan budaya.
"Dimana nilai-nilai patut dan tidak patut menjadi nisbi. Orang menjadi tidak mengalami goncangan batin ketika melenyapkan nyawa orang lain," ujarnya di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (18/4).
Gegar kemanusiaan dan budaya ini, menurut Haedar, karena berkembangnya budaya materi yang mengalami lompatan yang besar dibandingkan budaa rohani. Akibatnya muncul sikap materialistik, hedonis dan pragmatis.
"Masyarakat yang seperti ini yang rawan pada goncangan sehingga kemudian jiwanya, psikologisnya tidaka stabil baik secara individual maupun sosial. Sehingga dia menjadi rentan dan mudah gegar," ujarnya.
Selain itu kata dia, kehidupan sosial kolektif masyarakat masih mengalami proses egosentris. Dimana dulu masyarakat yang berbasis paguyuban, berbudaya komunal dan hidup dalam kebersamaan menjadi longgar.
Kehidupan sosial masyarakat jadi bersifat egoisme dan dalam egoisme ini tidak ada kontrol sosial sehingga membuat masyarakat melakukan penyimpangan jadi leluasa tanpa kontrol masyarakat. "Bahkan ada kecenderungan masyarakkat jadi permisif atas tindak penyimpangan. Acuh tak acuh sehingga tidak menjadi hirau," katanya.
Problem sosial masyarakat modern juga menjadi mampat sehingga kondisi ini membuat gampang meledak sehingga ketika emosi tersulut jadi gampang menyerang orang lain. "Ini memerlukan tugas keagamaan dalam jangka panjang. Tanamkan nilai agama yang substanstif jangan yang instan. Mubaligh berdakwah jangan hanya menghibur dan jadi entertain sehingga tidak menyentuh nlai dasar kemanusiaan," ujarnya.
Menurut Haedar, saat ini dalam kehidupan keagamaan juga ada pendangkalan nilai. Agama menjadi orientasi serba hiburan. Nilai keagamaan menjadi kelihatan seperti kembang api, bercahaya tapi tidak kelihatan. Saat ini kata dia, banyak yang menawarkan nilai pemahaman agama yang instan. Kondisi ini kata dia, rawan terhadap kekerasan, intoleransi dan penyimpangan.
"Agama juga jadi alat komoditas untuk kepentingan politik, kekuasaan dan lain-lain. Orang beragama ketika mencari kekuasaan agama tidak dijadikan landasan hanya aji mumpung. Orientasi agama jadi alat komodifikasi," katanya.
Karena itu kata dia, para tokoh keagamaan dan aktivis diharap kembali nilai-nilai sublim agama. "Saya yakin agama akan jadi kekuatan tersendiri karena agama jadi pembingkai nilai, tidak sembarangan, tidak hedonis. Masyarakat akan menjadi matang/dewasa karena agama mengajarkan nilai tengahan dalam kehidupan," katanya.