Jumat 11 Mar 2016 11:24 WIB

Makkah Itu Hatinya ‘Muslim Jawah’

Rombongan jamaah haji menuju Arafah untuk melaksanakan wukuf tahun 1935.
Foto:
Pak Harto dan ibu Tien di Arafah, Makkah, tahun 1992.

Hingga kini meski mulai digoyang banyak cibiran bahwa ke Makkah tak lagi penting karena menghamburkan uang, ternyata minat ‘Muslim Jawah’ (Indonesia) pergike kota itu tak pernah surut. Bahkan dalam 4-5 tahun belakangan, minat ke Makkah, yakni menunaikan ibadah haji dan umrah membludak seperti air bah.

Membludaknya minat ke Makkah yang muncul semenjak era Orde baru ini tampak bila melihat antrian pergi haji yang kini sudah mencapai 15 tahun hingga 20 tahun. Bahkan data terakhir visa umrah yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi untuk peziarah asal Indonesia sudah mencapai 1,2 juta orang. Jumlah ini meningkat 4-5 kali lipat dibandingkan angka pada lima tahun silam.

Untuk jumlah jamaah haji misalnya, bila di sebuah kota kecil di bagian selatan Jawa Tengah, Kebumen, pada awal 1980-an, jumlah jamaah hajinya tak lebih dari 100 orang. Namun kini jumlah itu meningkat sampai 1.600 persen (16 kali lipat), yakni sudah mencapai 1.600 orang. Jadi kalau satu pesawat Boeing 747, maka perlu empat pesawat untuk mengangkut mereka. Mereka pergi ke Makkah seperti boyongan pindah rumah atau bedol desa. Jumlah ini belum termasuk mereka yang pergi berumrah yang kini sudah menjadi 'peristiwa biasa' bagi warga yang tinggal di sana.

‘’Kami akan balik ke Makah,’’ kalimat ini selalu keluar dari mulut para jamaah umrah dan haji ketika pulang dari Makkah. Mereka merasa ada kerinduan atau pertautan hari yang aneh bila meninggalkan Ka’bah dan Makkah.

Uniknya lagi, meski banyak yang terkena tipu travel umrah dan haji yang nakal, mereka yang menjadi korban kerapkali tak mau minta uang pengembalian dan ganti rugi. Mereka menampik uang tersebut seraya tetap berkeras meminta agar: Segera berangkatkan kami ke Makkah!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement