Senin 07 Mar 2016 06:12 WIB
Jeritan Pengusaha Kopaja

‘Armada Kami Mau Kau Apakan Pak Ahok?’

Bus angkutan umum Kopaja melintas di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (18/9).
Foto:
Dimas Ramadhan (11) bekerja sebagai kondektur Bus Kopaja di kawasan Kalibata-Kramatjati, Jakarta, Kamis (19/1). (Republika/Aditya Pradana Putra)

Rudi mengatakan, Kopaja juga punya banyak jasa di dalam membantu angkutan warga Ibu Kota. Jadi, kalau akan dimusnahkan, tak bisa dilakukan dengan begitu saja.

Dengan kata lain, lanjut Rudi, kalau mau dihapus, harus ada "hitung-hitungan"-nya dulu secara wajar. Apalagi, selama ini mereka pun membayar uang retribusi Rp 75 ribu per bulan. Uang itu belum termasuk biaya uji kendaraan (KIR) yang dilakukan per enam bulan dengan harga Rp 300 ribu.

‘’Tak ada yang murah dan gratis. Harga izin trayek, misalnya, mencapai Rp 30 juta. Sedangkan, nilai harga mobil mungkin harganya hanya Rp 10 juta atau tergantung kondisi mobil. Nah, seandainya armada kami mau dibayarin, ya silakan. Seandainya usaha kami mau digabungkan dengan armada Transjakarta pun kami juga siap. Tapi, kami semua ingin hal ini segera ‘baik-baik'. Sebab, kini pun kami terus merugi karena armada tak beroperasi. Yang paling kasihan, ya para kenek serta sopir itu yang tak berpenghasilan lagi,’’ katanya.

Rudi pun mengaku merasa miris melihat nasib para sopir dan kernet Kopaja yang tanpa pekerjaan. Padahal, setiap harinya kalau mobil beroperasi, mereka bisa mendapat penghasilan bersih yang lumayan. Untuk kernet bisa mendapat uang Rp 75 ribu dan sopir bisa mendapat penghasilan mencapai dua kali lipatnya.

‘’Semenjak usaha angkutan Kopaja kami tak ada kejelasan, penghasilan kami terjun bebas atau turun drastis. Keuntungan tak lebih dari 20 persen dari penghasilan di waktu normal. Pendapatan ini pun masih terpotong dengan pembiayaan bengkel, ordendil, dan pembelian ban. Jadi, makin rugi dan terpaksa harus subsidi silang,’’ katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement