REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menyatakan agama dan negara dalam kehidupan bangsa Indonesia saling membutuhkan dan bahkan agama sebagai ruh, namun negara pula bisa mengontrol kehidupan beragama.
"Meski Indonesia bukan sebagai negara agama, atau negara sekuler tetapi antara agama dan negara saling membutuhkan," katanya pada kongres nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Selasa (23/2).
Pembicara selain Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua Komnas HAM Nur Kholis, Direktur Eksekutif The Wahid Institute Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman (Yenny Wahid), Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dan Wali Kota Kupang Jonas Salaen.
Kehidupan beragama di Indonesia, katanya, lebih baik dari negara lainnya. Persoalan agama memang jika dilihat fakta di lapangan sangat kompleks. Namun ia tak mau mengungkap secara spesifik kerukunan yang sudah dicapai berdasarkan hasil penelitian Litbang Kemenag.
"Yang penting, dari hasil temuan Komnas HAM yang diungkap pada kongres tersebut adalah bagaimana tindak lanjutnya ke depan. Dan agama dan negara memiliki hubungan yang sangat dinamis," katanya.
Negara perlu agama untuk mengontrol, apakah jalannya sudah sesuai. Di Indonesia, agama apa pun jelas butuh negara. Agama membutuhkan fasilitas negara untuk membumikan nilai-nilai ajaran agama.
Jadi, relasinya adalah saling mengimbangi. Saling mengontrol. Agar para aktornya, para penyelenggara dan tokoh agama dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dengan cara itu, para penyelenggara tidak sewenang-wenang. Juga para tokoh agama dapat menjalankan fungsinya untuk meningkatkan kualitas beragama.
Terkait dengan hak asasi, Lukman menjelaskan dari sisi regulasi sudah banyak yang mengatur kehidupan antarumat. Undang-undang yang mengatur kebebasan menyangkut hak dasar seseorang pun sudah ada.
"Ada larangan agar hak orang lain tak dilanggar. Ada larangan yang dituangkan dalam UU diarahkan untuk memenuhi rasa keadilan dan ketertiban umum di masyarakat," katanya.
Lukman mengakui persoalan agama di Indonesia adalah urusan pusat, ada Kementerian Agama dengan perpanjangan tangannya hingga kantor wilayah di sejumlah provinsi hingga kantor urusan agama (KUA) di kecamatan. Domain kementerian itu misalnya dalam menetapkan hari besar keagamaan dan lainnya.
"Tetapi ketika ada persoalan bahwa ada suatu agama memberi penilaian suatu ajaran sesat kepada penganut lainnya, menurut Menag, dalam hal ini siapa yang punya otoritas. Siapa yang berhak memberi penilain sesat. Negara kah?," katanya.