Ahad 21 Feb 2016 17:48 WIB

Keseharian Hidup Muslim Amerika Penuh Perjuangan

Rep: MGROL57/ Red: Muhammad Subarkah
Muslim Amerika Serikat di Tusla, Oklahoma di bulan Ramadhan.
Foto: onislam.net
Muslim Amerika Serikat di Tusla, Oklahoma di bulan Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah isu terorisme, meningkatnya prasangka, para Muslim Amerika menjalani kehidupan mereka. Sebanyak tiga juta Muslim tercatat tinggal di Amerika Serikat dan banyak warga Amerika yang penasaran siapa mereka. Dilansir dari CNN umat Islam Amerika tersebut mengisahkan keseharian mereka yang rumit di negara yang terjangkiti Islamofobia tersebut.

 Alia Sharrief, musisi rap sekaligus Muslimah berhijab menyatakan hidupnya penuh perjuangan. Sharrief harus menghadapi Islamofobia sekaligus prasangka buruk karena ia berkulit gelap. Baginya menjadi Muslim berkulit hitam tidak sama dengan hanya menjadi Muslim di Amerika.

Akan tetapi Sharrief telah menemukan cara menjembatani agama dan identitasnya sebagai keturunan Afrika-Amerika. Dengan mendalami musik hiphop, Sharrief menantang stereotip musisi rap lainnya di Amerika. Sharrief melalui musiknya, membawakan lirik-lirik tentang Islam dan Rasulullah saat ia tampil. Ia pun sering mengejutkan penonton dengan musiknya.

"Saya mendengar, 'wow, saya belum pernah mendengar yang seperti ini'," ujar Sharief menirukan komentar penontonnya kepada CNN Ahad (21/2).

Sharief berusaha mengubah pikiran orang-orang tentang Muslim Amerika. Ia ingin memperlihatkan hal-hal baik tentang Muslim di dunia. Namun adanya terorisme membawa nama Islam membuat usaha Sharief seolah selalu kembali ke titik awal. Seperti tragedi penembakan di San Bernardino.

 "Ketika (tragedi San Bernardino, red) terjadi, saya mendengar, 'kalian Muslim semuanya berbahaya'," cerita Sharief. "Saya tidak pernah berpikir demikian. Saya tidak pernah ingin menyakiti seorang pun."

Sementara Madiha Khan, mahasiswi Jurusan Kedokteran Universitas Liberty berjuang menjadi siswa di universitas yang berlatar belakang Kristen. Khan adalah satu dari enam Muslim di kampusnya. Walau secara fisik ia mudah berbaur, Khan tetap merasa cukup sulit menjalankan kewajibannya sebagai Muslim di sana.

Biasanya teman-teman Kristennya akan datang dan bertanya tentang Islam pada Khan. Seringnya mereka malah menemukan persamaan antara dua agama itu alih-alih perbedaan. Sayangnya tiap ada serangan radikal, Khan merasa usahanya menghilangkan stigma negatif tentang Islam mundur kembali.

 "Hal pertama yang saya pikirkan ketika mendengar peristiwa San Bernardino adalah, 'semoga pelakunya bukan Muslim'," tutur Khan.

"Sedih untuk mengatakannya dengan jelas, tetapi situasi semakin buruk dan saya merasa tidak bisa melakukan apa-apa,'' ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement