Jumat 12 Feb 2016 14:55 WIB

Empat Kategori Kain Halal Menurut LPPOM MUI

Rep: Sri Handayani/ Red: Achmad Syalaby
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim.
Foto: Republika/Wihdan H
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) membagi kelompok jenis kain berdasarkan kehalalan dalam empat kategori.

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menjelaskan, empat bagian tersebut yakni pertama, kain yang menggunakan bahan yang suci dan melalui proses yang suci pula. Ini umumnya ditemukan pada kain-kain sintetis. 

Kedua, kain berbahan suci namun prosesnya menyebabkan kontaminasi bahan yang najis. Kain jenis ini menjadi terkena najis (mutanajis). 

Kelompok ketiga yaitu kain berbahan tidak suci, namun dalam prosesnya bisa menjadi suci. Ini umum ditemukan pada penggunaan kulit hewan seperti sapi, kambing, domba, dan binatang lain yang disamak. Kategori terakhir merupakan kelompok kain yang bahannya najis dan dalam prosesnya tidak dapat disucikan kembali. Ini dapat ditemui pada kain yang berasal dari kulit babi. Kulit babi tidak menjadi suci walaupun melalui proses penyamakan. 

Menanggapi kekhawatiran publik tentang penggunaan unsur babi, Lukman mengaku belum ada pengkajian khusus yang dilakukan oleh LPPOM MUI. Namun, untuk memastikan kesucian kain hasil produksi, apalagi melakukan klaim kehalalan, perlu dilakukan pengujian sampel dan pemeriksaan. 

"Kan baru satu yang kita sertifikasi juga. Itu produk kain. Kita kan /nggak tau/ yang mana yang beredar di masyarakat ini (masuk dalam kategori yang mana)," ujar dia. 

Adapun jika ditemukan proses pembuatan kain yang melibatkan unsur babi, harus diperiksa kembali apakah unsur tersebut dapat disucikan atau justru terikat dan tertinggal bersama kain. Dalam proses penyuciannya, perlu dipertimbangkan pula apakah proses tersebut akan merusak kain atau tidak. Ini sangat tergantung dari teknologi yang digunakan dalam industri tekstil saat ini. 

Jika memang unsur tersebut dapat dihilangkan, kain itu harus melalui proses pencucian sekaligus 'penyucian'. Dipandang dari sisi kaidah fikih, kain yang terpapar najis dari babi dan anjing tergolong pada kelompok najis besar (najis mugholadoh). Lukman mengatakan, penyucian kain untuk kategori ini dilakukan mencuci sebanyak tujuh kali, salah satunya menggunakan tanah. 

"Memang MUI memfatwakan, tanah bisa diganti dengan bahan kimia yang bisa menghilangkan warna, rasa, dan bau. Tapi cucinya harus tujuh kali," ujar dia. (Baca:Soal Isu Kain Halal, Begini Pendapat Asosiasi Tekstil). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement