Selasa 09 Feb 2016 06:34 WIB
Islam di Jawa

Akar Gerakan Perlawanan Islam di Jawa (Bagian 2)

Rep: agung sasongko/ Red: Muhammad Subarkah
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:

Republika.co.id: Menurut Anda, kira-kira ada berapa episode bagi umat Islam di Jawa sehingga mereka terus-menerus menjadi radikal? Mohon diterangkan, berapa episode dari zaman Sunan Gresik?

Jadi, kalau saya melihat dari episode yang pertama, itu ketika stigma terhadap Syekh Siti Jenar, itu episode pertama. Episode kedua, ketika masa Pakubuwono II, itu kalau di Jawa Tengah. Di masa ini, ada peristiwa tentang stigmanya keraton, terutama ada beberapa tokoh keraton yang menstigma H Ahmad Mutamakkin.

Sebelumnya, di masa Sultan Agung ada, stigma terhadap tokoh agama Islam, yakni Kiai Bebeluk yang kemudian dia dibunuh dengan ditenggelamkan di dasar laut. Ini karena dia dipandang sebagai orang yang melawan kekuasaan. Padahal, bukti-buktinya itu tidak ada.

Itu terjadi masa yang kedua, masa Sultan Agung. Nah, ini berlanjut ke masa ketiga, yakni masa Amangkurat I dan II. Pada episode ini, kasus terbesarnya itu adalah membunuh ratusan sampai ribuan kiai dan santri terkait soal suksesi kekuasaan. Para ulama itu lebih memilih Pangeran Alif, adiknya Amangkurat I naik takhta.

Repubika.co.id: Bagaimana pada masa berikutnya?

Hermanu: Nah, pada episode keempat itu adalah masa Amangkurat II. Ia menghabisi semua pusat-pusat keilmuan Islam Jawa. Pusat-pusat keilmuan Islam di Gresik dihancurkan. Ya, itu dihabisi semua. Kemudian, episode berikutnya (episode kelima) adalah stigma terhadap KH Ahmad Mutamakkin.

Syekh Ahmad Mutamakkin ini dituduh mengajarkan ajaran sesat. Padahal tidak, karena dia seorang ulama. Kemudian, ulama itu ada pegangannya, fikih dan Quran. Tapi, kemudian dia diajak berdebat dengan Serat Bimosuci, yang bentuknya epos Jawa. Nah, itu kan sudah berbeda maksudnya.

Maka, ketika diajak berdebat, Kiai Ahmad Mutamakkin tidak mau menjawab, dia diam saja. Karena diam, dianggap dia kalah dan memberikan ajaran sesat.

Republika.co.id: Nah, pada episode selanjutnya (episode keenam), yakni masa Pakubuwono IV. Pakubuwono IV itu adalah seorang ulama, bahkan sebagian orang nahdliyin menganggap dia itu wali.

Raja ini memang sejak kecil sudah belajar agama yang dia dapat dengan belajar dari pesantren ke pesantren, dan itu jelas luar biasa. Maka, raja ini raja yang luar biasa. Ekspresinya pun unik, dalam keseharian, Pakubuwono IV jarang memakai pakaian Jawa seperti yang sekarang, tetapi dia memakai jubah. Nah, inilah yang luar biasa.

Namun, akibat kepintaran dan ketaatannya di dalam menjalankan ajaran Islam, Pakubuwono IV kemudian distigma dengan menuduh bila dia ingin memainkan peran suatu kekuasaan politik yang bag bagus dengan cara ‘mengimpor’ kiai-kiai karismatik itu masuk ke dalam kekuasaannya. Nah, inilah kemudian menjadi problem dan meletupkan perang antara Pakubuwono IV dengan Hamengkubuwono I dan Mangkunegoro I, serta Belanda. Karena kalah, kemudian dia disuruh membunuh kiai-kiai yang jumlahnya enam ini, dan itu dibunuh secara dibakar.

Republika.co.id: Apakah kemudian Pakubuwono IV bisa menolaknya?

Hermanu: Dia tidak berdaya. Nah, ini selanjutnya, Pakubuwono VI melawan. Tapi, ini ketika melawan, dia menggunakan dua sarana, yakni Diponegoro dan pesantren. Mereka saling mengadakan komunikasi. Dan, di dalam proses komunikasi itu Pakubuwono IV kemudian ditangkap dan dibuang ke Ambon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement