Selasa 09 Feb 2016 06:34 WIB
Islam di Jawa

Akar Gerakan Perlawanan Islam di Jawa (Bagian 2)

Rep: agung sasongko/ Red: Muhammad Subarkah
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an. (Foto: gahetna.nl)

Republika.co.id:  Melihat fakta itu, dalam sejarah dan masyarakat Jawa radikalisme, termasuk gerakan Islam radikal, apakah itu sebenarnya sekadar ekspresi politik?

Hermanu: Ya, memang begitu. Itu sebuah ekspresi politik, yakni ekspresi kekecewaan mereka terhadap situasi politik dan ekonomi pada sebuah kekuasaan atau negara.

Misalnya, dalam soal Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Gerakan perlawanan ini muncul sebagai ekspresi bagaimana dia termarginalkan ketika ingin mempunyai wilayah itu, ternyata dia tidak merdeka. Pangeran Diponegoro mempunyai rumah, kemudian tiba-tiba muncul garis patok dan menjadikan wilayah itu milik Belanda. Ini kan menjadi persoalan serius!

Republika.co.id: Menurut Anda, mengapa ‘basis  perlawanan’ itu berbasis di Solo ke barat, atau istilahnya gampangnya berada di wilayah Jawa Tengah pedalaman, Jawa Tengah selatan itu. Mengapa juga wilayah ini semenjak zaman kolonial sampai sekarang menjadi basis rekrutmen tentara. Apa memang orang dari daerah itu dari semenjak dulu sudah terbiasa dengan hal berbau keprajuritan.

Daerah Jawa Tengah selatan itu kan daerah yang sangat kuat filosofi agamanya. Dan, daerah ini selalu menjadi kawasan marginal oleh pemerintah Belanda. Nah, ketika ini dimarginalkan, daerah-daerah ini, yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka daerah ini merasa dianaktirikan. Nah, inilah awal proses radikalisme di Jawa."

Republika.co.id: Lalu, apa yang menjadi penyebab wilayah ini dimarginalkan?  Apa karena mereka memeluk agama Islam?

Hermanu: Kekuasaan kolonial Belanda dulu menganggap orang di sekitar pesantren bukan warga negara. Ini kan kebijakan yang sudah luar biasa sebenarnya, atau melakukan stigma yang luar biasa. Ini berlanjut ketika garis politik penguasa --seperti Pak Harto--yang selalu memarginalkan kelompok Islam. Akibatnya, ketika reformasi atau pergantian kekuasaan, wilayah itu pun ikut meledak. Kan begitu? Nah, kalau pemerintah sekarang juga akan selalu begitu, mereka juga akan mengalami situasi yang sama berbahayanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement