Rabu 06 Jan 2016 10:44 WIB

Bolehkah Menjadikan Mimpi Sebagai Sumber Hukum?

Rep: Hannan Putra/ Red: achmad syalaby
Pria tertidur/ilustrasi
Foto: pixabay
Pria tertidur/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Mimpi termasuk dalam perkara ghaib. Itulah alasannya kebanyakan  muballigh melarang untuk mencari takwil mimpi. Di samping langkanya orang yang mengetahui seluk-beluk tafsir mimpi, penafsiran mimpi bisa sangat rentan keliru. Bahkan orang sekaliber Abu Bakar RA pun tak begitu pas ketika menakwilkan mimpi. Bagaimanakah sebenarnya fiqih dalam menakwilkan mimpi?

Para ulama bersepakat akan kebolehan menceritakan mimpi dan meminta penakwilan darinya. Menurut Markaz Al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang atheis saja. Namun dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama seperti Ibnu Sirin.

Dalam Islam, mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur. Historis mimpi dari nabi-nabi terdahulu bahkan menjadikannya sebagai suatu sumber hukum. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS yang hendak menyemblih anak kesayangannya karena meyakini perintah Allah SWT datang melalui mimpinya. (QS as-Shaffaat [37]: 102). 

Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal andal menakwilkan mimpi. Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang sujud kepadanya. (QS Yusuf [12]: 4). Setelah itu, Nabi Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya perdana Mentri Mesir saat itu. Demikian dikisahkan Alquran dalam Surat Yusuf.

Setelah syariat Nabi Muhammad SAW, mimpi tidak bisa lagi menjadi hujjah untuk sebuah hukum sebagaimana terjadi di zaman Nabi Ibrahim AS. Imam Asy-Syathibi menegaskan, "Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syara’i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apapun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali." Demikian dipaparkannya dalam Al-I’tisham (2/78).

Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi juga menambahkan, para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Jadi mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Di samping itu bisa juga menjadi ibrah (pelajaran) apabila sesuai dengan dalil syar’i yang shahih. Demikian sebagaimana ia tulis dalam  At-Tankiil (2/242).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement