Senin 21 Dec 2015 10:58 WIB
Catatan Akhir Tahun 2015

Intoleransi Agama Berbalut Anarkisme

Rep: andi nur aminah/ Red: Muhammad Subarkah
Pembangunan masjid di Manokwari.
Foto:
Masjid Jamik Merdeka, Andai, Manokwari

Dua bulan pascapembakaran Masjid Baitul Muttaqin di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, aksi intoleransi kembali pecah di Pulau Kepala Burung itu. Kamis (17/9), puluhan pemuda Kristiani mendatangi lokasi pembangunan Masjid di Desa Arfai 2, tepatnya di Jalan Trikora kilometer 19. Di saat para tukang sedang bekerja menyelesaikan pembangunan gedung, puluhan pemuda itu menyampaikan orasi-orasi meminta penghentian aktivitas pembangunan masjid.

Kepala Cabang Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Maulana Muhammad menjadi saksi atas aksi pelarangan itu. Dia menceritakan pukul 10.00 WIT, setelah berorasi, sekitar 50 hingga 70 pemuda Kristiani memasang spanduk yang mengatasnamakan umat Kristen Papua Barat yang isinya menolak adanya pembangunan masjid di kota Manokwari.

Tepat pukul 11.00 para pemuda Kristiani ini pun lalu meninggalkan lokasi setelah sebelumnya mendapatkan peringatan dari penanggungjawab pembangunan Masjid. Namun pada pukul 14.00, spanduk berhasil diturunkan oleh warga Muslim di sekitar masjid dengan dikawal oleh aparat kepolisian dan TNI setempat.

Menurut Maulana, alasan pelarangan pembangunan masjid di Manokwari lantaran Manokwari  diklaim sebagai Kota Injil. "Jadi tidak boleh lagi mendirikan Masjid!," papar Maulana.

Pembangunan Masjid di Manokwari disebut tidak memiliki izin. Namun Abdul Rahman Mansim  Ketua Panitia Pembangunan Masjid Andai, menjelaskan pihaknya sudah menyiapkan persyaratan administrasi dan teknis bangunan masjid dengan cara mengumpulkan KTP sebagai persetujuan umat Muslim dan warga lainnya yang non-muslim. Begitu juga rekomendasi dari lurah, distrik/kecamatan dan Kemenag setempat. Dialog dengan Kapolda terkait masalah perizinan pembangunan pun sudah dilaksanakan.

Menurut Rahman, tentang status tanah tidak termasuk dalam kawasan zending seperti  diklaim oleh pendeta selama ini. Tanah itu sepenuhnya milik masyarakat yaitu Yayasan Nurhasanah yang dibeli kepada ahli waris keluarga Mansim. “Alasan saja bahwa tanah itu milik zending, tanah itu sudah dijual secara sah menurut aturan pertanahan,” jelasnya.

Sedangkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Papua, Cahyo Pamungkas mengatakan, lahan pembangunan masjid tersebut masih bersengketa dan pembebasan lahannya belum selesai.  Dengan alasan itu, ada sebagian masyarakat yang melakukan aksi menolak berdirinya masjid di Manokwari.

"Tanah tersebut masih tanah sengketa, masih menjadi rebutan antara misionaris zending dengan Keluarga Suku Manzid," ujarnya, Rabu (4/11).

Doktor lulusan Belanda tersebut mengatakan, umat Muslim asli warga Papua di Manokwari jumlahnya sudah banyak. Sayangnya, keinginan Muslim pendatang untuk mendirikan masjid tak dikomunikasikan secara baik dengan mereka. Inisiatif pendirian masjid itu pun murni keinginan Muslim pendatang. Menurut dia, kondisinya akan berbeda andai saja pembangunan masjid tersebut melibatkan warga Muslim asli penduduk Papua.

Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) memberikan catatan tersendiri atas penolakan pembangunan masjid di kompleks Anday, Manokwari Selatan itu. Dirjen Bimas Islam Kemenag Machasin, menilai terakit sengketa masjid di Manokwari, dibutuhkan introspeksi diri dari semua pihak, termasuk umat Islam.

"Umat Islam juga perlu introspeksi dalam hal ketertiban pembangunan masjid. Karena informasi yang kami dapat ada ketimpangan jumlah ril umat Islam dengan besarnya bangunan masjid," ujarnya Jumat (6/11).

Tanpa bermaksud untuk menyalahkan, Machasin berharap, umat Islam di Manokwari harus lebih bisa bersikap bijak, terutama memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Bila lingkungan sekitar berbeda agama, tentu harus lebih sensitif membangun tempat ibadah.

Terkait bangunan masjid, pihaknya menerima laporan memang bangunan masjid tidak sebanding dengan jumlah penduduk Muslim di sekitar. Bangunan masjid berukuran 40x50 meter, padahal jumlah penduduk di sana masih sangat timpang. Baru 200 meter jarak jumlah penduduk terdekat.

Selain itu, masjid tersebut juga belum mendapatkan izin resmi dari Pemerintah Kabupaten Manokwari. Izin baru di dapat dari pimpinan suku dan beberapa pendeta setempat. "Karena itu, kita perlu introspeksi juga kalau memang dirasa perlu ada yang kurang tepat, harus dibicarakan," ujarnya.

Pembangunan masjid di Manokwari, Papua Barat, yang sempat ditolak oleh masyarakat sekitar kini sudah bisa diselesaikan. Pembangunan masjid tersebut terus berlanjut dan sudah pada tahap pemasangan kubah.

Aksi penolakan pembangunan masjid tersebut mereda setelah dilakukan duduk bersama antara pihak pendemo dengan Kapolda Papua Barat bersama kepala suku dan pihak pemerintah. Semua pihak melakukan kesepakatan setelah panitia masjid menyelesaikan segala persyaratan sesuai aturan yang berlaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement