REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan Islam di Indonesia memiliki watak berbeda dengan Islam di negara-negara lain, termasuk Timur Tengah, disebabkan oleh cara masuknya Islam di Nusantara berlangsung secara damai.
"Latar sosial-budaya masyarakat Indonesia juga cinta damai, sehingga Islam di Indonesia berbeda," kata Din dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/11).
Saat berbicara di Markas Sasakawa Peace Foundation, Tokyo, Jepang, Din berpendapat atas dasar perkembangan Islam di Indonesia itu membuat Islam di Tanah Air berwatak damai, moderat, inklusif, toleran dan antikekerasan.
"Watak ini dianut oleh mayoritas mutlak umat Islam dan telah berlansung berabad lamanya. Maka, hampir dapat dikatakan, sejak dulu tidak ada ketegangan dan pertentangan serius antara Muslim dengan non-Muslim dan juga antara sesama Muslim. Indonesia sejak dikenal sebagai model kerukunan hidup, baik antarumat beragama maupun intraumat agama," paparnya.
Namun akhir-akhir ini, lanjut dia, suasana demikian sedikit berubah dengan adanya ketegangan bahkan konflik antarkelompok umat beragama, khsususnya antara kelompok Muslim dan Kristiani, seperti terjadi terakhir di Tolikara, Singkil dan Manokwari.
Menurut Din, hal itu disebabkan oleh bergesernya tata nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia yang sejalan dengan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi yang melanda Indonesia sejak dua dasawarsa terakhir.
Dalam kaitan ini, kata Din, radikalisme keagamaan yang muncul di Indonesia didorong oleh faktor keagamaan dan faktor-faktor nonagama.
Hal pertama yang menjadi sebab adalah, lanjut dia, kecenderungan penganut Islam mengambil bentuk pemahaman yang salah akibat penafsiran sempit teks-teks kitab suci dengan mengabaikan misi utama Islam untuk kerahamatan dan kesemestaan.
Kemudian, adanya ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang sering menjadi faktor prmicu kekerasan dan sikap radikal, sehingga agama menjadi faktor pembenar sikap tersebut.
Pernyataan Din itu sebagai jawaban atas fenomena radikalisme mengatasnamakan Islam seperti yang ditunjukkan ISIS.
Menurut dia, ideologi dan perilaku ISIS tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kasih sayang dan perdamaian. ISIS bukan gerakan Islam, tapi gerakan yang menyalahgunakan Islam untuk tujuan politik.