REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menegaskan, sejatinya Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa setiap perbuatan seorang itu terikat dengan ketentuan hukum syara'. Jadi, dia meyakini Islam tidak mengajarkan hukum asal perbuatan itu seenaknya.
"Isu HAM (hak azasi manusia) dalam masyarakat yang beradab dan agamis tidak bisa dijadikan tameng dan godam untuk mereduksi keadaban dan mencemari religiusitas masyarakat yang ada," tuturnya kepada Republika.co.id, Kamis (29/10).
Oleh karena itu baginya dalam kasus penistaan agama yang dilakukan entitas tertentu tidak bisa diklaim sebagai tindakan legal hanya karena berpijak pada asumsi HAM. Atau sebaliknya, ketika ada upaya untuk menutup pintu-pintu penistaan terhadap agama juga divonis sebagai tindakan melanggar HAM seseorang atau entitas tertentu.
Sementara HAM, menurut dia, dengan substansi kebebasan berkeyakinan, berpendapat, bertingkah laku dan bebas dalam kepemilikan harta, hal itu kontradiksi dengan aspek akidah maupun hukum syara' kaum Muslimin.
HAM yang merupakan produk barat, kata dia, tidak selaras dengan masyarakat Muslim. Hal itu karena substansinya berangkat dari paradigma mendasar yang berbeda dalam melihat kehidupan.
Sehingga, jika pelarangan rencana kegiatan sekelompok orang Syiah di wilayah Bogor oleh wali kotanya dianggap melanggar HAM.
“Maka para pengusung HAM dan liberalisme, sejatinya justru mengajak untuk bebas melecehkan, menghina, menistakan, dan mendiskreditkan keyakinan orang lain,” katanya.