REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Pura Mangkunegaran, Solo, Jateng, menggelar ritual kirab pusaka 'tapa bisu' mengelilingi areal Istana Mangkunegaran, untuk merayakan pergantian Tahun Baru 1437 H, atau 1 Suro, Selasa (13/10) malam.
''Guna menjaga kekhusukan ritual kirab pusaka dan 'tapa bisu' mubeng beteng, masyarakat yang tinggal seputaran areal Istana Mangkunegaran yang dilewati kirab untuk mematikan lampu penerangan jalan selama kirab malam satu suro,'' pinta Pengageng Kawedanan Satrio Pura Mangkunegaran, KRMT Liliek Priyarso, Selasa (13/10).
Disamping itu, pemilik kafe atau rumah yang dilewati jalur kirab, untuk turut mematikan penerangan jalan, serta ikut menjaga ketenangan selama kirab pusaka berlangsung.
Sebagai lampu penerangan, panitia bekerjasama dengan beberapa kampung di seputar Pura mangkunegaran, yakni kampung Keprabon, Kestalan, dan Ketelan, untuk menyediakan obor. Selain itu, acara kirab juga dikemas sesuai dengan adat tempo dulu. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan suasana nilai-nilai sakral dan magis malam satu Suro.
Pura Mangkunegara juga mengajak masyarakat untuk turut serta dalam kirab pusaka, dan semedi tengah malam dalam menyambut Tahun Baru Jawa 1949 atau 1437 HY. Ritual semedi yang dulu hanya dilakukan kerabat Mangkunegaran. Sekarang, dilakukan terbuka untuk umum. Hanya saja, masyarakat yang ingin mengikuti prosesi ini harus mengenakan busana Jawa.
Menurut Liliek, warga yang ikut semedi harus mengenakan busana Jawa. Kalau yang putri mengenakan berkebaya dengan warna dasar hitam. Sedang yang putra mengenakan beskap,” katanya.
Selain kirab tersebut, ulama Pura Mangkunegaran juga akan menggelar sema’an Al Quran dan Tadarus di Masjid al Wustho. Ini memperlihatkan Pura Mangkunegaran berjalan seimbang, antara budaya dan agama.
Perayaan Tahun Baru Hijriyah, atau malam 1 Suro, tidak bersamaan. Puro Mangkunegaran menggelar Selasa (13/10) malam. Sedang Keraton Kasunanan Surakarta Rabu (14/10) malam.
Menanggapi perbedaan itu, Wakil Pengangeng Sasono Wilopo Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Pengeran Aryo (KPA) Winarno Kusumo, mengungkapkan, kirab satu Suro yang digelar mengacu penanggalan Sultan Agung yang dibuat masa Kerajaan Mataram.
Dia mengatakan, boleh saja berbeda penghitungan penanggalan dengan Pura Mangkunegaran. Hal itu adalah hal yang biasa, dan tidak perlu dibesar-besarkan. ''Tidak apa-apa berbeda. Biasanya perbedaan ini terjadi dalam empat tahun sekali. Namun, saya tidak terlalu paham untuk perbedaan penghitungannya,'' katanya.