REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awalnya, jilbab itu membuat Julie merasa sedikit tidak nyaman, tapi perempuan itu tampak begitu tulus. Keduanya terus bertemu. Kalau tidak janjian di luar, kadang dia yang mengunjungi Julia di kantor.
"Satu hal yang benar-benar menyenangkan adalah dia tidak pernah memaksa," kenang Julie. Dia tipikal perempuan yang tidak suka dipaksa, dan sikap sahabat-sahabat barunya sangat membantu. Kadang, keduanya berbicara di telepon. Lain waktu, mereka pergi berempat.
Perempuan itu dan suaminya, sedangkan Julie dengan Salah. Julie dan Salah sebenarnya belum menikah saat itu, tapi ada kalanya mereka keluar untuk makan siang bersama. Lewat interaksi dengan ketiga Muslim itu, Julie mulai mengenal Islam.
Penerimaan Awal-awal belajar Islam, Julie tanpa sengaja bertemu seorang teman lama yang sudah masuk Islam setahun sebelum itu. Temannya itu bahkan sudah mengenakan jilbab! Julie pun langsung bertanya tentang jilbabnya.
Pasalnya, itu sebuah ganjalan besar bagi Julie. Ia melihat temannya tampak sangat berubah. Pertemuan itu semakin meneguhkan keputusannya berislam.
Pada 1982, Julie pun memutuskan masuk Islam. Salah turut andil meyakinkannya. Semula, Julie merasa pengetahuan keislamannya masih sangat dangkal. Dia sudah belajar banyak, tapi selalu merasa kurang. Ia merasa masih saja tidak tahu banyak tentang Islam.
Tak terkecuali, saat perempuan itu sudah melafalkan syahadat. Sampai sekarang pun, kata Julie, setiap kali melihat ke belakang, ia merasa pengetahuannya baru berada di permukaan. Pada titik itu, Salah meyakinkan Julie.
Pria itu bilang, ada begitu banyak ilmu dalam Islam. Tak akan ada habis-habisnya dipelajari. "Dia berkata, sekalipun saya yang terlahir Muslim, saya tidak tahu segala sesuatu tentang Islam. Kita memiliki ulama, tempat kita belajar. Mereka orang- orang yang dikaruniai keluasan ilmu agama," kata Julie menirukan ucapan suaminya.
Di tengah komunitas baru, Julie bahagia.
Minimal, dia merasa nyaman. Tidak pernah ada seorang yang memaksanya. Salah atau teman-temannya sekalipun. Mereka membiarkan Julie berproses dengan caranya sendiri. Ketika mengucapkan syahadat, dia hanya mengenakan syal kecil yang diikatkan ke belakang. Tidak ada yang menyuruhnya mengenakan pakaian seperti ini, berperilaku seperti itu, dan seterusnya. Mereka bersikap sangat lembut dan tenang padanya.
"Itu sangat banyak membantu," ucap Julie bahagia.
Tak mudah Konversi bukan pilihan mudah. Pilihannya untuk tidak keluar minum-minum lagi membuatnya terpaksa kehilangan beberapa te man lama. Julie pun sempat khawatir dengan respons keluarga. Ibunya, orang yang paling membuatnya khawatir akan menolak keislamannya, ternyata menerima dengan tangan terbuka. Lain halnya dengan Penny, sikap adiknya itu agak berbeda.
Julie mempunyai dua orang adik perempuan. Penny, adik perempuan pertamanya, berusia dua tahun lebih muda. Awalnya, sikap Penny agak lain bila mereka kebetulan keluar rumah bersama. Apalagi, jika Julie memakai jilbab dan keduanya pergi ke suatu tempat yang orang- orangnya mengenal Penny. Julie tahu, Penny merasa sedikit malu memperkenalkannya.
Semua ketidaknyamanan itu lebur seiring waktu. Memang tidak singkat, tapi adiknya akhirnya mengerti bahwa tidak ada sesuatu pun yang berubah di antara mereka. Setelah beberapa tahun, mereka bisa tertawa bersama, berjalan bersama, dan berbicara dengan santai. Penny bisa memperkenalkan Julie tanpa sungkan kepada siapa pun. "Oh. Ini saudaraku, Julie."