REPUBLIKA.CO.ID, oleh Komaruddin Hidayat
Pakaian dan status sosial yang begitu lama melekat pada seseorang, secara psikologis potensial melahirkan kekuatan imperialisme. Sebuah kekuatan yang menjajah keakuan seseorang yang paling polos dan mulia bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Bahwa pakaian dan jabatan hanyalah tempelan yang setiap saat bisa lepas atau dilepas. Yang membedakan derajatnya di hadapan Allah adalah kadar iman dan amal salehnya.
Untuk meraih kembali kesadaran eksistensial itu maka seorang Muslim diwajibkan pergi haji, meninggalkan rumah dan segala pekerjaan serta status sosialnya agar terbebaskan dari sifat self-centered (individual). Untuk ini ibadah haji diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, pakaian dalam arti yang lebih dalam dan luas.
Ketika seseorang memulai prosesi ibadah haji, egoisme dan berbagai kesadaran palsu harus dikubur, lalu ditumbuhkan pada dirinya kesadaran baru, yaitu penghayatan akan makna kemanusiaan universal. Mereka datang dengan niat yang sama dan status yang sama. Tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain kecuali karena kualitas ketakwaannya.
Oleh karenanya, ibadah haji secara psikologis merupakan upacara "kematian" dalam rangka menemukan makna dan kualitas hidup yang lebih sejati. Yaitu matinya kesadaran palsu dan sifat-sifat negatif yang antara lain ditimbulkan oleh prestasi duniawi yang memabukkan dan cenderung merendahkan harkat kemanusiaannya.