REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Komaruddin Hidayat
Persiapan haji dimulai dengan berpakaian ihram kemudian jamaah haji membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku-Engkau”, dan segala urusan duniawi sudah harus ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transcendental secara interns. Pikiran, perasaan, ucapan dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah semata.
Ketika mengenakan pakaian ihram seseorang harus menanggalkan semua pakaian status sosial, tidak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh bercermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya berbagai nafsu egoistic ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mi’raj. Mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, sebuah peribadi yang darinya terpancar sifat-sifat ilahiyah.
Upaya mendekati bahkan memeluk Tuhan ini lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengelilingi Ka’bah. Batu Hitam (hajar aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke rumah Allah untuk melakukan audiensi.
Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”. Dengan menjabat tangan Tuhan seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta perestasi yang diraihnya ini nantinya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.