Ahad 02 Aug 2015 10:59 WIB

Ini Penjelasan Kiai NU Bagi Penolak Islam Nusantara

Tilawan Alquran dengan Langgam Jawa
Foto:

Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah.

Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib.

Dikatakannya, penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.

Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh.

Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.

Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad SAW melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-Sunah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement