REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) M Arief Rosyid Hasan mengemukakan, bagi Indonesia, ekstremisme keagamaan sesungguhnya bukanlah masalah yang muncul dari dalam, melainkan merupakan perpanjangan pengaruh dari konflik di wilayah lain, terutama Timur Tengah.
“Hanya karena membawa simbol dan sentimen keagamaan, kelompok seperti Al Qaeda, Taliban, atau belakangan ISIS, dapat menimbulkan simpati dan membangun sel-sel pengikutnya di Indonesia,” tutur Arief saat bersama wakil empat ormas pemuda lainnya bertemu Perdana Menteri Inggris David Cameron di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) Jakarta, Selasa (28/7).
Arief mengungkapkan, kenyataan menunjukkan sasaran yang paling rentan terpengaruh dan menjadi pengikut kelompok ekstrem/radikal adalah kaum muda. Pertama, karena kelompok usia ini masih labil dalam pegangan nilai keagamaan.
Kedua, kata Arief, karena jumlahnya yang sangat besar. Jumlah pemuda mencapai lebih 60 juta jiwa, seperempat dari total penduduk Indonesia. “Aksi-aksi kelompok ekstrem yang terjadi menunjukkan pemuda selalu memegang peran yang penting, walaupun mereka sebenarnya lebih sering dikorbankan untuk kepentingan elit kelompoknya,” papar Arief.
Arief menjelaskan, HMI kini memiliki lebih dari 300 ribu kader mahasiswa Islam di sekitar 300 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. “HMI selalu berupaya menyediakan ruang aktifitas bagi mahasiswa Islam untuk membangun aspirasi wawasan keislaman yang terbuka dan beraspirasi kebangsaan,” ujarnya.
Karena wawasan tersebut, Arief melanjutkan, HMI selalu merupakan ruang yang terbuka bahkan bagi setiap penganut mazhab Sunni, Syiah, bahkan Ahmadiyyah, dan yang lain, untuk bergaul secara bebas, mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kepemimpinan.
“Kami di HMI mengajarkan nilai-nilai tersebut melalui pelatihan-pelatihan, kajian keilmuan, seminar, konferensi, dan dialog bersama umat agama lain,” tuturnya.
Arief menyebutkan, pelatihan formal di HMI dibagi menjadi tiga tahapan, yakni basic, intermediate, dan advance training. Sehingga HMI seringkali menjadi kampus kedua bagi Mahasiswa Islam selain pendidikan tinggi yang sedang mereka tempuh.
“Dengan mengajarkan wawasan serta praksis hidup yang moderat dan demokratis, kami berharap dapat menjaga kehidupan keagamaan yang maju dan toleran,” paparnya.