REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adalah benar semua umat Muslim bersaudara. Sebabnya, kabahagiaan yang dirasakan saudaranya pasti juga dirasakan dirinya. Agar kebahagiaan yang saya rasakan diketahui dan juga dirasakan saudara-saudaraku, maka alangkah baiknya saya berbagi cerita atas perjalanan hidupku menemukan Islam.
Perkenankanlah saya memperkenalkan diri. Nama saya, Annas Mansyur Fidel Zaibua, lahir di Nias pada tanggal 22 Oktober 1996. Alhamdulillah kedua orang tua, kakak, dan adik saya masih hidup dan masih memeluk agama Kristen Katolik. Kami lima bersaudara dan semuanya laki-laki. Satu orang kakak dan empat orang adik.
Karena latar belakang ekonomi keluarga yang sulit, maka kakak saya tidak sempat merasakan duduk di bangku sekolah menengah. Ia hanya lulus sekolah dasar dan kemudian bekerja membantu ayah dan ibu di ladang. Anak orang tua saya yang ketiga tidak tamat sekolah dasar karena memutuskan untuk bekerja juga membantu orang tua.
Sedangkan adik saya, yang nomor empat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan yang kelima masih bersekolah kelas lima SD di dekat tempat kami tinggal. Sedangkan saya adalah anak yang kedua dari lima bersaudara.
Ayah adalah seorang petani karet, sama halnya dengan ibu. Dahulu aku tergolong anak yang nakal, khususnya sejak lulus SD hingga duduk di SMP. Karena kenakalanku itulah kedua orang tuaku tidak mengizinkanku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.
Saya bertanya kepada mereka ketika itu; “Pak, buk, aku boleh melanjutkan sekolah ke SMA tidak?” kataku kepada mereka. Mereka menjawab; “Jangan! Kamu itu susah diatur. Nanti bisanya Cuma merepotkan orang tua saja.” Mendengar perkataan mereka tersebut, aku pun merasa kecewa, tapi apa mau dikata tetap saja aku tidak dapat bersekolah.
Kemudian saya berkata kepada kedua orang tuaku lagi; “Ya sudah buk, kalau aku tidak sekolah, dari pada aku di kampung lebih baik aku pergi merantau cari kerja!” kataku kembali. Ayah kemudian menjawab; “Terserah kamu mau ngapain, yang penting jangan sekolah.” tegasnya.
Saya pergi ke Kota Gunung Sitoli yang berjarak tujuh belas kilometer dari rumah. Tidak begitu jauh, namun karena di sana jarang angkutan umum yang lewat jadi sepertinya sedikit jauh. Atas perintah ayah untuk bekerja, maka aku berupaya melamar ke sana kemari. Sempat putus asa, namun Allah memberikanku petunjuk ketika itu.
Alhamdulillah, ada seorang pemilik apotek yang mau menerimaku untuk bekerja di apoteknya yang terletak di Kampung Baru, Gunung Sitoli. Kebetulan sang pemilik beragama Katolik sama sepertiku, jadi saya mudah diterima di apotek tersebut ketika itu.
Meski sang pemilik beragama Katolik, namun karyawan yang bekerja di apotek tersebut semua orang Muslim. Mungkin karena apotek tersebut berada pada lingkungan orang Muslim, maka seluruh karyawannya adalah seorang Muslim kecuali pemilik apotek beserta saudaranya dan aku.
Saya bekerja setiap hari, kecuali Ahad yang kebetulan hari libur. Pekerjaan ini membuat saya mulai bisa mandiri, tidak lagi bergantung kepada orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Kehidupan yang ramah dan sopan aku rasakan di sekitar apotek tempatku bekerja.
Mungkin karena mayoritas penduduk setempat beragama Islam, sehingga mereka tidak berbuat layaknya umat Kristiani di daerah tempat tinggalku yang gemar bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi sambil meminum miras dan memakan daging babi. Ketenangan yang saya peroleh di daerah tempatku bekerja secara perlahan mulai aku rasakan.
Apalagi setiap menjelang sore hari, tepatnya pada waktu salat ashar selalu terdengar suara adzan kemudian pada pukul lima sore selalu diputar kaset-kaset dakwah di mesjid, sehingga aku pun tak sengaja mendengarnya karena pada waktu itu setiap jam lima sore apotek sudah tutup dan tidak ada kegiatan selain bergegas untuk pulang.
Saya tinggal di sebuah kontrakan kecil, tepatnya sebuah kamar, yang sengaja aku sewa untuk tempat tinggal selama aku bekerja di apotek tersebut. Jaraknya tidak jauh dari apotek tempatku bekerja, dan hanya sekitar dua rumah saja dari masjid. Jarak yang tidak jauh dari masjid inilah membuat aku seolah-olah merasakan ada yang aneh pada diriku.
Setiap kali suara adzan dikumandangkan, rasanya hatiku tersentuh dan terasa tenang, walaupun saya tidak tahu apa artinya. Ini terjadi selama berbulan-bulan, ketika saya masih bekerja di apotek tersebut, namun tidak saya hiraukan.
Perlahan demi perlahan perasaanku terhadap suara adzan itu mulai berbeda. Aku merasa adzan ini berbeda dari lagu-lagu kerohanian gereja yang dulu sempat aku nyanyikan ketika bersama orang tua ke gereja. Ini seperti air yang menyejukkanku. Rasanya dingin dan tenang. Tak lama setelah aku merasakan ada yang aneh pada diriku, aku pun bertanya kepada salah seorang teman yang kebetulan juga bekerja di apotek tempat aku bekerja.
Ia adalah seorang Muslim, berusia lebih kurang tiga puluhan tahun dan sudah punya anak satu. Aku bertanya kepadanya; “Bang mengapa kalau setiap orang Islam mau sembahyang selalu adzan?” kataku. Ia menjawab; “Itu adalah sebuah seruan yang menandakan sudah masuk waktu shalat. Setiap Muslim harus melakukan shalat, adzan adalah cara untuk mengingatkan waktu salat.” katanya. “oh begitu,” pikirku dalam hati.
Suara adzan ternyata memiliki makna yang dalam. Saya pun mulai mencari-cari apa sebenarnya arti adzan tersebut. Mulailah kulihat televisi yang setiap menjelang maghrib selalu menayangkan kumandang adzan. Kulihat kalimat Allahu akbar yang berarti Allah Maha Besar, kemudian kesaksian terhadap Allah Tuhan Yang Maha Esa serta Muhammad adalah Nabi dan Rasul utusan Allah, yang lebih membuat aku heran adalah kalimat haya ‘ala alfalah yang berarti menuju kemenangan.
Saya bertanya-tanya dalam hati ketika itu; “Mengapa dengan mengakui keesaan Allah dan mengakui Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah, maka akan mendapati kemenangan? Bukankah kemenangan itu selalu didapatkan dari proses kompetisi atau sebuah peperangan? Mengapa demikian?”, pikirku.
Sungguh ini membuatku semakin berpikir tentang perihal mengapa demikian? Lambat laun, saya larut dalam perdebatan internal dalam hati, hingga merasakan bahwa kebingungan. Berada di gereja dan memeluk agama Kristen yang selama itu kuanut justru malah tidak memberikan kepuasan batin.
Saya seakan menjadi pribadi yang gamang. Selain karena usia yang relatif masih muda, ajaran dan budaya masyarakat Kristen di daerah tempat tinggalku sangat membuatku merasa tidak nyaman. Berbeda dengan orang-orang yang pada umumnya memiliki agama yang menjadi acuan bagi kehidupannya.
Singkat cerita, sampailah saya pada keputusan untuk berpindah agama. Konsekuensi yang akan aku tanggung bila berpindah agama pun aku pikirkan. Bukan tidak mungkin bila keluargaku tahu, saya akan diusir dari rumah.
Tidak dianggap lagi sebagai seorang anak oleh ayah dan ibu, bahkan keluarga dan masyarakat sekitar akan memberikan sanksi sosial dengan mengucilkan aku. Namun, keyakinan bahwa Islamlah agama yang benar dan keteguhan dalam hatiku untuk berpindah agama sudah bulat.
Apa pun resiko yang akan bakal hadapi kelak akan saya jalani dengan ikhlas. Saya yakin ketika itu bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya terzalimi dan menderita, serta aku yakin bahwa Tuhan tidak akan memberikan suatu cobaan yang melebihi dari kemampuan hamba-Nya.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….( Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)
Dengan keyakinan yang kuat inilah aku kemudian memutuskan untuk pindah dan memeluk agama Islam. Dipandu oleh seorang ustadz yang juga sebagai pengurus mesjid di daerah tempat kerjaku, aku mengucapkan kalimat syahadat.
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمّدا رسول الله
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad adalah Rasul Allah.”