Ahad 26 Jul 2015 10:17 WIB

Muktamar NU-Muhammadiyah Ditunggu Dunia dan Umat

Umat Islam menjalankan ibadah di Makkah.
Foto: Reuters
Umat Islam menjalankan ibadah di Makkah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menggelar hajatan akbar dalam waktu yang bersamaan.

Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar Ke-33 NU pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur, kemudian Muhammadiyah dengan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah pada tanggal 3-7 Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan, yang diawali dengan Sidang Tanwir Muhammadiyah di tempat yang sama pada tanggal 1-2 Agustus 2015.

Agaknya kebersamaan NU-Muhammadiyah dalam muktamar itu sudah menjadi takdir bagi Muslim Indonesia untuk bersama-sama mengibarkan bendera "Islam Rahmatan Lil Alamin" ke seluruh dunia. Betapa tidak, perhelatan akbar keduanya itu sesungguhnya sangat ditunggu dunia yang akhir-akhir ini mengalami islamofobia akibat cara-cara kekerasan yang dipertontonkan secara telanjang.

Ibarat gayung bersambut, Muktamar Ke-33 NU mengusung tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia", sedangkan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah mengangkat tema "Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan".

Jadi, NU dan Muhammadiyah ditakdirkan untuk saling mengisi (sinergi) dalam mengampanyekan Islam ke seantero dunia dan Gerakan Pencerahan ke seluruh Indonesia.

"Muhammadiyah itu NU dan NU itu Muhammadiyah. Muhammadiyah itu pengikut karakter Muhammad, NU itu pengikut karakter ulama, sedangkan ulama itu pewaris Muhammad. Jadi, jangan mentang-mentang, karena sama saja," ucap budayawan Emha Ainun Nadjid (Cak Nun).

Buktinya, Konsul Jenderal AS di Surabaya Joaquin Monserrate mengaku dirinya sangat mengagumi Islam di Indonesia karena Islam di Indonesia itu beda dengan di Timur Tengah. Islam di sini sangat menghormati agama minoritas.

Tidak hanya itu, dia juga mengaku terkesan dengan para tokoh lintas agama di Indonesia yang langsung berkumpul bila ada konflik antarumat beragama meski agama bukan pemicu sebenarnya. "Lihat saja insiden di Tolikara (Papua), reaksi semua tokoh agama sangat menyejukkan dan tidak emosional," ucapnya di sela halalbihalal di rumah dinasnya di Surabaya, 23 Juli 2015.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj menegaskan komitmen nasionalisme itulah yang membedakan Islam di Indonesia dengan di tempat lain.

"Pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari menyatakan Islam saja belum mampu menyatukan umat. Akan tetapi, nasionalisme saja akan kering. Oleh karena itu, Islam dan nasionalisme itu harus disatukan. Itulah Islam Nusantara," katanya.

Menurut dia, Islam di mana pun memang mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian. Akan tetapi, kekerasan dan peperangan di suatu negara Muslim tertentu bukan hanya dari konstelasi politik, melainkan ada problem ideologis dan teologis.

"Contohnya adalah Afghanistan yang 100 persen Muslim, tetapi perang terus dan PBNU sudah empat kali mendamaikan tetapi belum bisa. Jadi, Islam Nusantara adalah Islam dan nasionalisme yang menyatu. Itu mirip Piagam Madinah yang intinya pemeluk Islam yang melindungi dan mengayomi non-Islam," katanya.

Agaknya, Islam Indonesia yang punya komitmen nasional (nasionalisme) itulah yang membuat Afghanistan untuk mengirim mahasiswa ke Indonesia agar generasi muda mereka bisa damai antarsesama Muslim. Tidak hanya itu, Konsul Jenderal AS di Surabaya Joaquin Monserrate pun mengagumi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement