REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden pembakaran masjid di Kabupaten Tolikara, Papua dinilai Wakil Presiden Jusuf Kala diakibatkan persoalan pengeras suara yang belum lama ini pernah dibicarakannya. Terkait hal itu, umat Muslim tentunya harus mengetahui aturan penggunaan pengeras suara yang diatur oleh Kementerian Agama.
Dalam situs Direktorat Jenderal Bina Masyarakat Islam Kemenag disebutkan aturan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushala dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978. Instruksi yang ditandatangani Dirjen Bimas Islam kala itu, Kafrawi, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla.
Aturan tersebut menyebutkan mulai dari segi perawatan pengeras suara. Perawatan penggunaan pengeras suara harus dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau mushala.
Selanjutnya, mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid.
Penggunaan pengeras suara dalam masjid juga didasarkan pada syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan shalat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya.
Selain itu, syarat penggunaan pengeras suara adalah di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarkan, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang, namun sebaliknya.
Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
Dari tuntunan nabi, suara adzan sebagai tanda masuknya shalat memang harus ditinggikan. Oleh karena itu, penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara, baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan. Aturan ini juga mengatur tata cara penggunaan pengeras suara hanya boleh dikeraskan ke dalam atau ke luar masjid.
Misalkan dalam upacara hari besar Islam disarankan pengeras suara hanya digunakan dengan suara ke dalam masjid, kecuali pengunjungnya membludak hingga ke luar masjid.
Sebelumnya, Wapres JK mengeluarkan komentar yang menyinggung akar masalah dikarenakan penggunaan speaker yang dinilai menganggu umat beragama lainnya. "Memang asal muasal soal speaker itu mungkin butuh komunikasi lebih baik lagi untuk acara-acara seperti itu," ujar JK.