Senin 29 Jun 2015 19:58 WIB

Isi Keberatan MUI Terkait UU JPH

Rep: c14/ Red: Agung Sasongko
Logo halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, Senin (13/4). (Republika/Edwin Dwi Putranto)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Logo halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, Senin (13/4). (Republika/Edwin Dwi Putranto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian besar penduduk Indonesia merupakan Muslim, sehingga berhak mendapatkan produk yang terjamin kehalalannya.

Perlindungan dari negara antara lain melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun, menurut Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni'am Sholeh, regulasi tersebut masih memuat kekurangan.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang (UU) JPH, Ni'am menjelaskan, peran MUI terbatas pada mengeluarkan fatwa saja terkait kehalalan suatu produk. Namun, sertifikat halal, secara administratif, tidak berasal dari MUI, melainkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga pemerintah.

Menurut Ni'am, dengan begitu, negara terkesan mengecilkan peran organisasi masyarakat sipil yang telah lama aktif dan berkompeten dalam hal sertifikasi produk halal.

"Idealnya, negara itu memfasilitasi peran serta masyarakat. Bukan justru take over," kata Asrorun Ni'am Sholeh, Senin (29/6), seusai menjadi pembicara dalam diskusi pangan di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat.

Ni'am melanjutkan, pemerintah dan legislatif semestinya meruangkan prinsip demokratisasi. Sehingga, apa yang sudah lama dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil tidak lantas putus di tengah jalan.

"Kalau bisa ditangani oleh masyarakat sipil, negara hanya memberikan pendampingan. Misalnya, sosialisasi ke produsen tentang tanggung jawab sosial dan moral," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement