REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Muktamar ke-33 NU yang akan digelar di Jombang, Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015 mendatang menuai polemik tentang metode pemilihan Rais Am.
Sebagian kalangan menginginkan Rais Am ditentukan melalui metode ahlul halli wal aqdi (ahwa). Sebagian yang lain menghendaki metode pemilihan atau pemungutan suara oleh seluruh peserta Muktamar yang merupakan utusan pengurus NU di daerah-daerah.
Kalangan yang mendukung metode ahwa berargumentasi bahwa Rais Am adalah posisi paling tinggi dan menentukan arah kebijakan NU. Posisi itu pun membawahi Ketua Umum sebagai eksekutif dalam struktur organisasi NU. Maka, Rais Am harus ditentukan oleh para kiai senior atau kiai khos yang dianggap memiliki kapasitas keilmuan mendalam.
Kalangan pendukung pemilihan langsung berpendapat bahwa Rais Am memerlukan legitimasi yang kokoh. Maka dia harus didukung dan dipilih langsung oleh para pimpinan daerah NU dari tingkat kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia.
Rais Syuriah PWNU Nusa Tenggara Timur Abdul Kadir Makarim menilai, metode ahwa dinilai tak sesuai dengan nafas atau semangat NU.
“Lagi pula, sejak NU didirikan pada 1926, Rais Aam selalu dipilih secara langsung oleh para peserta Muktamar,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/6).
Metode ahlul halli wal aqdi dipakai hanya sekali dalam Muktamar di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Itu pun karena dalam kondisi sangat genting di bawah tekanan rezim penguasa Orde Baru.
Kala itu ada situasi kondisi darurat berupa keterpecahan dua kubu NU antara kubu Cipete dan kubu Situbondo. Lalu muncul inisiatif dari KH Asad Syamsul Arifin yang mengajukan enam nama kiai senior yang menentukan Rais Am dan Ketua Umum Tanfidziyah, yaitu KH Ahmad Sidiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).